Salah Kaprah Penggunaan Ungkapan Bahasa Indonesia

Nita Handayani Hasan, S.S.

Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Artikel ini telah terbit di harian Kabar Timur

Meskipun bahasa Indonesia telah dijadikan mata pelajaran yang diajarkan dari jenjang pendidikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi, namun bahasa Indonesia masih dianggap sebagai bahasa yang sulit untuk dipelajari. Munculnya anggapan tersebut boleh jadi desebabkan adanya perbedaan penggunaan bahasa Indonesia dalam ragam formal dan tidak formal.

Kebanyakan pengguna bahasa Indonesia sering mencampuradukkan ragam bahasa formal dan tidak formal. Pada situasi formal, pengguna bahasa Indonesia semestinya menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Bahasa Indonesia yang benar yaitu bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia ragam formal biasanya digunakan pada forum-forum nasional, dalam proses belajar-mengajar di kelas, dan situasi formal lainnya. Sedangkan ragam bahasa tidak formal merupakan ragam bahasa yang tidak terikat pada penggunaan kaidah kebahasaan. Ragam bahasa tidak formal biasanya mengaplikasikan bahasa Indonesia yang benar. Ragam bahasa tidak formal biasanya digunakan pada pergaulan sehari-hari atau dalam berkomunikasi di situasi yang tidak formal.

Seringnya orang Indonesia mencampurkan ragam bahasa Indonesia formal dan tidak formal menjadikan pengguna bahasa Indonesia menjadi salah kaprah saat berbahasa. Salah kaprah yang terjadi karena kebiasaan kita menggunakan bahasa Indonesia yang salah. Betuk-bentuk ungkapan yang sering salah kita gunakan yaitu kebohongan publik, mengejar ketinggalan, menyembuhkan penyakit, dan melengkapi kekurangan.

Ungkapan pertama yang sering kita temukan ialah kebohongan publik. Ungkapan kebohongan publik sering ditemui dalam ranah hukum dan peraturan perundang-undangan. Contoh kalimat ungkapan tersebut yaitu “setiap orang yang melakukan kebohongan publik melalui media elektronik atau media cetak diancam dengan ….”. Makna ungkapan kebohongan publik yaitu ‘kebohongan milik publik’ atau dengan kata lain, yang berbohong yaitu publik. padahal, jika ditelusuri lewat contoh kalimat di atas, yang berbohong yaitu orang. Atau dengan kata lain bermakna ‘orang yang berbohong kepada publik’.

Ungkapan kebohongan publik sama dengan ungkapan ranah publik yang bermakna ‘ranah milik publik’, kesiapan publik yang bermakna ‘kebiapan milik publik’ atau ‘publik yang bersiap’. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan yaitu ‘orang yang berbohong kepada publik’ maka contoh kalimat “setiap orang yang melakukan kebohongan publik melalui media elektronik atau media cetak diancam dengan ….” harus diganti menjadi “setiap orang yang melakukan kebohongan kepada publik melalui media elektronik atau media …” atau menjadi kalimat “setiap orang yang berbohong kepada publik  melalui media elektronik atau media cetak diancam ….”.

Ungkapan kedua yang sering salah digunakan yaitu mengejar ketinggalan. Orang yang jeli dan terbiasa menggunakan logika dalam berbahasa akan merasa aneh dengan ungkapan mengejar ketinggalan. Apakah bisa seseorang dapat mengejar ketinggalan. Padahal, ketinggalan merupakan sesuatu yang telah tertinggal atau lewat. Sesuatu yang telah tertinggal atau lewat berada di belakang. Padahal, yang bisa dikejar adalah apa pun yang berada di depan yang mengejar, seperti mengejar perolehan angka (angka lawan lebih tinggi).

Jika seseorang pergi ke terminal untuk naik bus, padahal bus yang ingin ditumpanginya telah berangkat, maka orang tersebut disebut ketinggalan bus. Bukanlah hal yang wajar jika orang tersebut mengejar bus yang berada di belakangnya. Tapi menjadi hal yang logis jika orang tersebut mengejar bus yang sudah lebih dahulu berangkat.

Ungkapan yang ketiga yaitu menyembuhkan penyakit. Jika dilihat sekilas, ungkapan tersebut terkesan baik-baik saja. Padahal, jika dinalar lebih dalam, ungkapan tersebut merupakan hal yang salah. Contoh pemakaian ungkapan yang sering kita jumpai yaitu “dokter berupaya menyembuhkan penyakit”. Apakah benar seseorang yang sedang sakit, kemudian dia berkonsultasi dengan dokter untuk menyembuhkan penyakitnya. Seseorang yang sakit pasti ingin diobati penyakitnya agar lekas sembuh. Jika yang dimaksud yaitu orang sakit pergi ke dokter untuk mengobati penyakitnya, maka kalimat “dokter berupaya menyembuhkan penyakit” harus diubah menjadi “dokter berupaya menyembuhkan/mengobati orang sakit”.

Salah kaprah penggunaan ungkapan lainnya yaitu melengkapi kekurangan. Perhatikan contoh kalimat berikut ini “Kamus bahasa Hitu edisi dua diterbitkan untuk melengkapi kekurangan kamus bahasa Hitu edisi satu”. Jika diamati lebih seksama, kalimat tesebut menunjukkan hasil melengkapi kekurangan yaitu ‘kekurangan menjadi lebih lengkap’. Mungkin saja, kekurangan yang ada di dalam kamus bahasa Hitu edisi pertama tadinya hanya berjumlah lima, kemudian bertambah kesalahannya menjadi sepuluh pada kamus bahasa Hitu edisi kedua.

Ketika ditelusuri secara logis apa yang dikehendaki kalimat yang kacau itu, yaitu ‘terbitnya kamus bahasa Hitu edisi dua menyebabkan kamus bahasa Hitu edisi pertama menjadi lebih lengkap dari segi lema, pendefinisian, dsb’. Simpulannya, Kamus bahasa Hitu yang dulunya memiliki banyak kekurangan, kini kekurangannya menjadi lebih sedikit. Oleh karenanya, contoh kalimat dapat diubah menjadi “Kamus bahasa Hitu edisi dua diterbitkan untuk melengkapi lema dan pendefinisian lema yang ada di kamus bahasa Hitu edisi satu”.

Salah kaprah penggunaan ungkapan yang terjadi di masyarkat disebabkan oleh frekuensi penggunaan yang tinggi. Kesalahan-kesalahan tersebut sudah sedemikian luas hingga tidak terasa kesalahannya lagi. Hal tersebut mengingatkan kita pada slogan Menteri propaganda Nazi, Jozef Goebbels, “kebohongan yang diulang-ulang akan membuat banyak orang percaya, hingga menjelma menjadi kebenaran”.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

sixteen + thirteen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top