Mengenal Sastra Lisan Manumakatai dari Negeri Sepa

Zahrotun Ulfah, S.S.

Pengkaji di Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Berbicara tentang Provinsi Maluku seakan tidak akan pernah ada habisnya. Provinsi yang dijuluki dengan Negeri Seribu Pulau ini memiliki sejuta pesona di dalamnya. Selain kekayaan bahari yang mengundang decak kagum, kekayaan budaya yang dimiliki sangatlah beragam. Tidak heran jika Provinsi Maluku mendapat sebutan dengan Negeri Para Raja. Setiap negeri memiliki pemimpin adat yang biasa disebut dengan raja (upu). Biasanya raja dilantik berdasarkan garis keturunan dan bermarga tertentu sesuai kesepakatan tetua adat atau aturan dari para leluhur. Hal itu menjadi menarik karena di setiap negeri pasti memiliki budaya dan tradisi yang berbeda.

Dalam rangkaian pemetaan sastra daerah yang dilakukan oleh Kantor Bahasa Provinsi Maluku, terdapat salah satu tradisi atau sastra lisan yang menarik. Di Negeri Sepa, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, terdapat salah satu sastra lisan bernama Manumakatai. Manumakatai merupakan pertunjukan tari kolosal yang diiringi dengan nyanyian daerah berjudul Manumakatai. Sastra lisan itumenceritakan tentang penyebaran Agama Islam di Negeri Sepa. Pertunjukan itu diiringi dengan alat musik tifa. Dahulu, Manumakatai biasanya dipentaskan pada saat acara pelantikan raja dan pembangunan rumah ibadah (masjid). Tarian itu ditarikan oleh 30—40 orang penari laki-laki.

Prosesi pertunjukan dimulai dengan gerak pembuka berupa lima langkah maju dan mundur. Gerakan itu menandakan bahwa Negeri Sepa merupakan keturunan Patalima. Pembukaan tarian diiringi oleh teriakan dari salah satu pemimpin dengan lantunan kata “Bunga Simalara, Bunga Simalara”. Selanjutnya, para penari membentuk barisan panjang yang susunannya mirip sebuah kapal. Posisi terdepan bertugas sebagai penunjuk jalan dengan membawa alat pancing. Di barisan tengah terdapat satu orang tokoh atau wali yang di depannya dijaga oleh seorang pengawal dengan membawa pedang. Di belakang tokoh wali terdapat satu orang pengembara yang seakan menggendong bayi. Ia bergerak menari mengikuti lantunan nyanyian. Para penari lainnya menari sambil melambaikan janur kuning. Gerakan tarian seolah seperti sedang memancing atau menangkap ikan.

Para penari selanjutnya terus bergerak membentuk lingkaran. Di dalam lingkaran, masuk penari lain yang sudah menggunakan pakaian menyerupai binatang seperti babi, rusa, ikan, kus-kus, dan sebagainya. Gerakan dan pakaian yang dikenakan seolah menceritakan bahwa mereka datang dari Kota Makkah dan tiba di tempat yang kondisi masyarakatnya masih hidup bebas menyatu dengan alam. Sebelum datangnya agama, negeri ini dikisahkan tidak mengenal peradaban dan hanya memercayai roh nenek moyang atau leluhur. Pada masa itu, penduduk masih berburu rusa, babi, dan kuskus untuk bertahan hidup. Selain bercerita tentang kedatangan Agama Islam, dalam nyanyian juga menceritakan proses perjuangan para pemuka negeri dalam melawan penjajahan Belanda. Prosesi tarian selalu diiringi dengan nyanyian manumakatai yang dinyanyikan sebanyak lima hingga enam kali. Lirik nyanyian Manumakatai adalah sebagai berikut.

I
 Manumakatai yo oo0
 Letemburu matarana eee
 Hale yai sila-sila ooo 
II
 Tunu monjala ooo
 Ria wae timba wae eee
 Sarere mbati nai yo ooo 
Rai mora eee
III
 Anambati suri ooo
 Launa silili kotae..
 Launa silili kotae..
 Nilombisi tambaga 
IV
 Dayun ale eee
 Pegangdayun ale eee
 Dayun hasa hasa..ooo
 Pulau geser ale eee.. 
V
 Anakoda tukange eee..
 Tukang  yarumbai yo ooo
 Yarumbai remaniae..
 Ratu re mania… 
VI
 Kasituri kasawai ye eee
 Kihu ambe rotu ooo
 Ratu remania eee
 Rotong mbati suri yo ooo 
VII
 Low rima eee
 Mae low rima ooo
 Latu hale rime eee
 Manumbese basa ooo
 Unggumala unggulai eee
 Kakatua emale
 Anak cina
 ukur memange
 tarasang pendek pendek
 tarasampe kaki yooo 

(Sumber:  Abbas Tihurua)

Namun, dari hasil wawancara dengan narasumber, saat ini sastra lisan Manumakatai sudah jarang dipentaskan. Beberapa generasi muda di Negeri Sepa kurang mengetahui bahwa di negerinya memiliki warisan budaya tersebut. Sangat disayangkan jika pada akhirnya generasi muda benar-benar kehilangan dan sama sekali tidak mengetahui aset budaya yang dimiliki. Padahal dengan adanya budaya atau tradisi, kita dapat mewarisi kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Bahkan, karena kita cenderung abai dengan budaya yang dimiliki, beberapa tahun terakhir marak adanya klaim budaya oleh negara lain. Pastinya kita tidak menginginkan hal serupa terjadi kembali. Menjaga budaya berarti menjaga martabat bangsa karena budaya adalah bagian dari jati diri bangsa. Dengan demikian, sudah seharusnya jika semua pihak mulai menyadari pentingnya menjaga budaya demi tegaknya muruah bangsa.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

13 + 5 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top