Bahasa Daerah di Provinsi Maluku Sebagai Kajian Linguistik dan Teritorial

Erniati, S.S.

Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Artikel ini telah terbit di harian Kabar Timur

Tim Pemetaan Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengidentifikasi sebanyak 64 bahasa daerah di Provinsi Maluku. Pengambilan data untuk pemetaan bahasa ini dilakukan sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2020.  Jumlah yang sangat banyak jika dibandingkan dengan jumlah bahasa daerah yang ada di wilayah tengah dan barat Indonesia. Selanjutnya, disebutkan bahwa Provinsi Maluku tercatat sebagai provinsi keempat di Indonesia yang memiliki jumlah terbesar bahasa daerah setelah Provinsi Papua , Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Sebagai salah satu wilayah yang memilki jumlah bahasa daerah yang banyak, tentu saja memerlukan penanganan pelestarian yang kompleksitas. Semakin banyak jumlah bahasa daerah, semakin banyak persoalan yang timbul terkait dengan upaya pelestariannya. Hal ini juga berlaku pada semua bahasa daerah di Maluku. Mengapa demikian? Karena sebagaimana diketahui bersama bahwa dengan jumlah penduduk yang hanya kurang lebih dua juta jiwa, tetapi memilki jumlah bahasa yang relatif besar. Oleh karena itu, dapat dipastikan beberapa bahasa daerah itu mempunyai penutur sedikit. Selain bermasalah dengan kurangnya  jumlah penutur setiap bahasa, juga bermasalah dengan penamaan bahasa daerah tersebut.

Sebelum adanya Pemetaan Bahasa yang dipublikasikan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2008, pemetaan bahasa di Maluku lebih dahulu dipetakan atau diidentifikasi oleh peneliti bahasa (linguis),  baik peneliti individu maupun penelitian yang dilakukan oleh organisasi linguistik lainnya. Hasil kajian atau penelitian sebelumnya memiliki banyak perbedaan terkait dengan penamaan bahasa, terutama pada bahasa-bahasa yang memiliki dialek banyak, misalnya bahasa-bahasa yang ada di Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Seram Bagian Timur. Secara ilmiah, perbedaan penamaan bahasa daerah merupakan hal yang wajar dalam sebuah penelitian. Perbedaan itu terjadi karena metode atau pendekatan yang digunakan oleh para peneliti berbeda. Pemetaan bahasa oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Kantor Bahasa Provinsi Maluku menggunakan kajian dialektologi diakronis dengan teknik dialektometri untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah kosakata  atau bahan yang terkumpul dari tempat-tempat tersebut.  Hasil perbandingan tersebut berupa persentase  yang menggambarkan persentase jarak unsur-unsur kebahasaan  di antara daerah-daerah pengamatan itu. Selanjutnya, digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan tersebut dengan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan. Kriteria tersebut, (1) 81% ke atas dianggap perbedaan bahasa, (2) 51—80% dianggap perbedaan dialek, (3) 31—50% dianggap perbedaan subdialek, (4) 21—30% dianggap perbedaan wicara, dan (5) di bawah 20% dianggap tidak ada perbedaan. Rumus itulah yang digunakan selama ini oleh Tim peneliti dari Kantor Bahasa Provinsi Maluku dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk menentukan perbedaan bahasa termasuk penamaan bahasanya. Penamaan bahasa oleh badan bahasa lebih banyak berdasarkan kajian linguistik atau ilmu linguistik bukan berdasarkan teritorial atau geografis.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, sebagian besar penutur bahasa atau masyarakat tutur di wilayah Provinsi Maluku menggunakan atau menamai bahasanya berdasarkan teritorial atau nama negeri/desanya. Penamaan bahasa berdasarkan teritorial bukan hal yang tidak lazim dan diperbolehkan. Beberapa peneliti bahasa yang melakukan kajian bahasa daerah di Maluku menggunakan atau menamai bahasa daerah berdasarkan penuturan masyarakat teritorial bahasa daerah tersebut. Ada beberapa hal yang mendasarinya, seperti bahasa daerah di Maluku menjadi ciri etnis dari wilayah tutur. Oleh karena itu, jika menamai bahasa sesuai dengan nama wilayahnya akan gampang diperkenalkan bahwa bahasa yang digunakan mewakilai negerinya, meskipun sebenarnya bahasa daerah tersebut berkerabat dekat dengan wilayah lain yang menggunakan wilayah yang sama.

Contoh kasus bahasa Hitu. Bahasa Hitu yang dituturkan di wilayah  sepanjang Jezirah Lehiti, Pulau Ambon. Kajian linguistic menunjukkan bahwa bahasa Hitu merupakan bahasa daerah yang dituturkan bukan hanya di Jazirah Lehitu, tetapi juga berkerabat dengan bahasa daerah yang digunakan di Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut, Pulau Saparua, bahkan sebagian bahasa daerah yang digunakan wilayah  di Maluku Tengah yang ada di Pulau Seram.  Kajian pemetaan bahasa menunjukkan bahwa Bahasa Hitu  dituturkan oleh masyarakat beberapa desa di Kabupaten Maluku Tengah, Kota Ambon, dan Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Bahasa itu memiliki lima belas dialek. (1) Dialek Hatuhaha yang dituturkan di Desa Pelauw, Kailolo, Kabauw, Rohomoni, dan Hulaliu, Kecamatan Pulau Haruku, dan Kabupaten Maluku Tengah. (2) Dialek Siri Sori yang dituturkan di Desa Siri Sori, Kecamatan Saparua Timur, dan Kabupaten Maluku Tengah. (3) Dialek Tanah Titawai yang dituturkan di Desa Titawaai, Kecamatan Nusa Laut, dan Kabupaten Maluku Tengah. (4) Dialek Asilulu yang dituturkan di Desa Larike, Kecamatan Leihitu Barat, dan Desa Asilulu, Negeri Lima, Kecamatan Leihitu, dan Kabupaten Maluku Tengah. (5) Dialek Mamala, Morella, Wakal, dan Hila, Kecamatan Leihitu, dan Kabupaten Maluku Tengah. (6) Dialek Tulehu yang dituturkan di Desa Tulehu, Tial, Tengah Tengah dan Liang, Kecamatan Salahutu, dan Kabupaten Maluku Tengah. (7) Dialek Amahai yang dituturkan di Desa Amahai dan Rutah, Kecamatan Amahai, dan Kabupaten Maluku Tengah. (8) Dialek Sepa yang dituturkan di Desa Sepa, Kecamatan Amahai, dan Kabupaten Maluku Tengah. (9) Dialek Tamilow yang dituturkan di Desa Tamilouw, Kecamatan Amahai, dan Kabupaten Maluku Tengah. (10) Dialek Tehoru yang dituturkan di Desa Tehoru, Kecamatan Tehoru, dan Kabupaten Maluku Tengah. (11) Dialek Huaulu yang dituturkan di Desa Huaulu, Kecamatan Seram Utara, dan Kabupaten Maluku Tengah. (12) Dialek Koa (Manusela) yang dituturkan di Desa Air Besar, Kecamatan Seram Utara, dan Kabupaten Maluku Tengah. (13) Dialek Kaitetu yang dituturkan di Desa Kaitetu dan Seith, Kecamatan Leihitu, dan Kabupaten Maluku Tengah. (14) Dialek Laha yang dituturkan di Desa Laha, Kecamatan Teluk Ambon, dan Kota Ambon.  (15) dialek Elpaputih yang dituturkan di Desa Elpaputih, Kecamatan Elpaputih, dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Persentase perbedaan dialektometri antardialek tersebut berkisar 52%–77%. Berdasarkan hasil perhitungan dialetometri, isolek Asilulu merupakan sebuah bahasa karena persentase perbedaannya dengan bahasa lain di Maluku berkisar 81%—100%, misalnya dengan bahasa Luhu dan Saleman (https:petabahasa.kemdikbud.go.id). Beberapa  dialek yag dikemukakan berdasarkan fakta linguistik, tentu saja sering tidak berterima oleh sebagian penutur dialek tersebut. Penutur dialek menganggap bahwa mereka memiliki bahasanya sendiri-sendiri berdasarkan wilayah  teritorial mereka. Penamaan bahasa berdasarka wilayah  terotorial itu dianggap berterima dan merupakan kajian linguistik lain. Namun, sebaiknya penamaan bahasa di Maluku perlu melibatkan beberapa pihak yang berkepentingan, baik dari penutur, tokoh adat, peneliti bahasa, dan pemerintah agar penamaan bahasa di Provinsi Maluku bisa diselesaikan baik secara ilmiah maupun berdasarkan pengakuan penduduk.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

15 + sixteen =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top