Helmina Kastanya, S.Pd.
Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Menurut Sahusilawane (1933:14) Kapata adalah syair yang dinyanyikan dalam bahasa daerah setempat yang isinya menceritakan suatu peristiwa yang bersifat informatif. Kapata biasanya dilantunkan pada momentum tertentu seperti pada waktu upacara adat, penyambutan tamu, pelantikan raja, memulai suatu pekerjaan dan lain-lain. Penyebutan istilah kapata di beberapa daerah di Maluku berbeda-beda. Misalnya di Pulau Aru disebut foruk, di Pulau Buru disebut kabata dan ianfuka dan di Pulau Seram disebut pasawari.
Beberapa kajian terdahulu menunjukkan bahwa sastra lisan kapata kerap dipraktikkan dalam berbagai aktivitas di masyarakat. Misalnya penjelasan dalam kajian Falantino Latupapua, dkk. (2012:28) sastra lisan kapata dipraktikkan saat pelantikan raja, pelantikan kepala soa, prosesi adat bawa harta, penyambutan tamu, upacara panas pela, saat acara kumpul keluarga, acara meminang calon pengantin, kapata saat mencari ikan di laut, dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa sastra lisan kapata sebagian besar memiliki peran penting dalam ritual adat. Secara tidak langsung menunjukkan bahwa kapata merupakan lambang identitas masyarakat Maluku.
Fakta yang terjadi saat ini, sastra lisan kapata tidak semembara pada masa lampau. Meskipun pada umumnya orang asli Maluku tidak asing dengan istilah kapata namun banyak yang tidak memahami makna dan konsep kapata seperti apa. Ada beberapa faktor yang memengaruhinya salah satunya proses pewarisan atau transmisi yang sudah jarang terjadi. Dalam kaitannya dengan proses transmisi ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu generasi tua dan generasi muda. Biasanya generasi tua yang paham kapata cenderung tertutup dalam mewarisinya. Generasi tua sangat hati-hati dan tidak berani untuk memberikan atau meneruskannya kepada generasi muda. Sebaliknya, tidak jarang generasi muda yang merupakan bagian dari masyarakat modern enggan untuk belajar dan meneruskan kapata. Mereka menganggap kapata sebagai budaya kuno dan tidak menarik untuk diteruskan.
Selain proses transmisi, faktor lain adalah terancamnya bahasa daerah. Sastra lisan kapata menggunakan bahasa daerah sehingga setiap daerah yang bahasanya terancam punah akan kesulitan untuk menuturkan kapata. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran masyarakat untuk mempertahankan bahasa daerah. Jika orang tidak mampu berbahasa daerah ia juga tidak bisa ber-kapata dengan baik sehingga kapata hilang dari masyarakat pemiliknya.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sastra lisan kapata kini kian meredup. Perlu adanya kerja sama yang baik dari berbagai pihak untuk bersinergi dan bersama-sama mempertahankan kapata. Hal ini penting untuk dilakukan karena Maluku merupakan salah satu provinsi yang mempunyai nilai budaya yang unik dan menarik. Salah satunya Maluku dikenal sebagai negeri raja-raja karena setiap kota dan kabupaten memiliki desa-desa adat yang disebut negeri. Setiap negeri dipimpin oleh seorang raja yang diangkat berdasarkan garis keturunan tertentu. Raja sangat dihormati dan disegani oleh rakyatnya. Seorang yang menjabat sebagai raja biasanya melalui proses pemilihan, pelantikan dan penobatan. Seorang yang dilantik sebagai kepala desa pada desa adat tidak dapat melaksanakan ritual adat sebelum dirinya dinobatkan sebagai raja sehingga pelantikan kepala desa menjadi raja sangat penting. Penobatan raja merupakan sebuah tradisi yang menarik di Maluku. Dilaksanakan dengan tata cara adat yang sudah terkonsep secara turun-temurun. Di dalam ritual penobatan raja inilah kapata digunakan.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis di beberapa desa adat di Maluku terutama di Kota Ambon. Saat proses penobatan raja ada negeri yang ritualnya dilaksanakan secara singkat tidak banyak prosesi. Kapata yang seharusnya disampaikan dalam beberapa prosesi adat pun tidak ada. Hal ini jelas berbeda bila dibandingkan dengan negeri atau desa adat yang masih memepertahankan bahasa daerahnya dan yang masih memahami konsep kapata. Ritual penobatan raja berlangsung dengan menarik dan setiap prosesi adat ditandai dengan syair kapata yang dilantunkan atau diucapkan dengan indah dan bermakna sehingga ritual penobatan raja menjadi berkesan.
Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa kapata merupakan sastra lisan yang memiliki peran penting dalam suatu tradisi atau ritual adat di Maluku. Masyarakat harus sama-sama menjaga dan mempertahankannya. Seperti mempraktikkannya dalam berbagai kesempatan agar tetap terjaga. Upaya yang dapat dilakukan adalah semua pihak harus tetap menjaga bahasa daerah yang merupakan media penyampaian kapata, memiliki tanggung jawab dalam proses mentransmisikannya, dan memiliki rasa cinta terhadap budaya sendiri untuk dijaga sebagai identitas diri. Keunikan wilayah Maluku bukan hanya tentang alam. Maluku memiliki potensi besar untuk tampil menarik dari sisi budaya daerahnya. Jika dilestarikan akan berdampak bagi masyarakat terutama dalam menumbuhkan pariwisata dan ekonomi kreatif dan juga memberikan keuntungan bagi Maluku.