Masnita Panjaitan, S.S.
Analis Kata dan Istilah di Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Maluku merupakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah bahasa terbanyak keempat di Indonesia, setelah Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur, yakni 62 bahasa daerah. Hal ini dapat dilihat di laman petabahasa.kemdikbud.go.id. Banyaknya jumlah bahasa daerah yang ada di Maluku berpeluang besar untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia karena akan banyak kosakata baru muncul dari bahasa-bahasa daerah tersebut, khususnya mengenai kosakata budaya.
Kantor Bahasa Provinsi Maluku sebagai salah satu unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah melakukan pengambilan data pengayaan kosakata dari bahasa daerah di Maluku sejak tahun 2016. Pada saat itu, sudah ada ribuan usulan yang telah diusulkan Kantor Bahasa Provinsi Maluku ke KBBI Daring. Hal tersebut bisa diperoleh dengan cara menggunakan fitur penyaringan dari data semua usulan pada akun editor di KBBI Daring dengan mengecek menggunakan label [KB Maluku]. Dari ribuan kosakata yang diusulkan, seharusnya banyak kosakata dari bahasa daerah di Maluku yang diterima menjadi warga KBBI Daring. Namun, untuk sampai pada tahap sebuah kosakata diterima menjadi warga KBBI Daring, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Ada pun syarat sebuah kosakata untuk diterima menjadi warga KBBI Daring terdiri atas lima syarat. Hal tersebut dapat dilihat di laman badanbahasa.kemdikbud.go.id. Syarat yang pertama, “unik” maksudnya kata yang diusulkan tersebut, berasal dari bahasa daerah maupun bahasa asing yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Syarat yang kedua “eufonik” atau enak didengar, maksudnya kata yang diusulkan mengandung bunyi yang lazim seperti tata bunyi bahasa Indonesia atau dengan kata lain sesuai Pedoman Umum Pengindonesiaan Istilah. Syarat yang ketiga, “seturut kaidah bahasa Indonesia” maksudnya kata tersebut dapat mengalami pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan. Syarat yang keempat “tidak berkonotasi negatif”, maksudnya kata tersebut dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat dan tidak mengandung makna yang negatif di kalangan masyarakat, misalnya kata “pelokalan” dan “lokalisasi”, jika diamati di korpus, sanding kata yang lebih tepat ialah pelokalan yang lebih bermakna positif. Syarat yang kelima “frekuensi pemakaian tinggi atau kerap dipakai” maksudnya kata tersebut kerap dipakai dalam beberapa wilayah atau kerap muncul dalam korpus. Dengan memenuhi kelima syarat tersebut, saat ini sudah ada 61 kosakata dari bahasa daerah di Maluku yang diterima menjadi warga KBBI Daring (info terakhir dilihat di laman kemdikbud.go.id pada bulan Oktober 2021). Ada pun rincian kosakata yang diterima, yakni Alune, 5 kosakata; Hitu, 3 kosakata; Karey,3 kosakata; Kola dialek Manombai, 1 kosakata; Kur, 15 kosakata; Luhu dialek Boano, 2 kosakata; Melayu Ambon, 24 kosakata; Seluwarsa, 1 kosakata; dan Serua, 7 kosakata.
Banyak sekali kosakata yang unik dari Maluku yang telah diusulkan, diterima di KBBI Daring, dan yang sedang diproses. Berdasarkan pengalaman pengambilan data pengayaan tahun 2019 yang diambil dari bahasa Kur, bahasa tersebut memiliki konsep tersendiri untuk menggambarkan tingkat kematangan buah-buahan tertentu. Misalnya, satu kata dari bahasa Kur yang sudah diterima di KBBI Daring, afifar “buah sukun yang sudah agak besar, tetapi belum matang”. Apabila diamati secara umum dalam bahasa Indonesia, nama buah mulai dari masih bakal buah hingga menjadi buah, tetap disebut buah mangga, baik mangga yang masih muda maupun yang sudah matang. Namun, dalam bahasa Kur mereka memiliki nama tersendiri untuk buah mulai dari masih sangat muda hingga matang.
Selain konsep buah, ada juga konsep yang unik untuk sapaan di Maluku. Hal ini berdasarkan pengalaman pengambilan data pengayaan dari bahasa Seram tahun 2020 dan pengambilan data pengayaan dari bahasa Marlasi tahun 2021. Dari kedua bahasa tersebut, ada pun konsep yang unik terkait sapaan, yaitu kata temon pada bahasa Seram dan kata ahtemon pada pada bahasa Marlasi. Kedua kata tersebut, digunakan sebagai sapaan kepada orang yang memiliki nama yang sama. Misalnya, seseorang bernama Nita dan ada seseorang lagi yang bernama Nita, maka sapaan yang digunakan ialah temon pada bahasa Seram dan ahtemon pada bahasa Marlasi. Hal-hal unik seperti ini mungkin tidak di semua daerah di Maluku ada, tetapi inilah yang perlu dipertahankan dan dilestarikan kemudian didokumentasikan agar tidak hilang. Khususnya kepada generasi muda di Maluku yang sudah banyak tidak bisa berbahasa daerah. Dengan demikian, bahasa daerah yang lestari akan berkontribusi baik pada pengayaan kosakata bahasa Indonesia.