Evi Olivia Kumbangsila, S.Pd.
Penerjemah di Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Pada bagian pertama penulisan ini, penulis membahas tentang haruskan rakyat Indonesia menjadi dilema dengan bahasa Indonesia yang jelas telah teregulasi dalam Undang-undang Dasar 1945, Bab XV, pasal 36, konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan? Bagaimana fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan utama di negara Republik Indonesia. Namun, rakyat Indonesia lebih memilih untuk, secara tidak langsung, mengubah kedudukan bahasa negara sebagai bahasa yang bukan bahasa utama melainkan bahasa yang perlu dikuasai.
Tindakan rakyat Indonesia dalam penggunaan bahasa Indonesia jelas memutarkan posisi bahasa resmi, bahasa negara ini dengan bahasa asing. Yang seharusnya bahasa asing hanya perlu dikuasai sebaliknya bahasa asing menjadi bahasa utama. Penggunaan bahasa asing merajalela di Tanah Air karena orang Indonesia bukan hanya berlomba-lomba untuk menguasainya melainkan memakainya di mana saja. Mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, bahkan lingkungan masyarakat. Lucunya, semakin mahir orang Indonesia berbahasa asing, semakin tidak mahirlah mereka berbahasa negara. Berapa banyak anak Indonesia yang diajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi di dalam keluarga dan bahasa pengantar di lingkungan pendidikan mahir dan terampil berbahasa Indonesia? Alhasil mereka melahirkan generasi “campur kode bahasa”. Faktanya, bahasa-bahasa lain yang bukan milik penduduk asli seperti bahasa Cina, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Jerman, dan bahasa lain berkedudukan sebagai bahasa asing yang bertugas sebagai (1) sarana penghubung antarbangsa, (2) sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, dan (3) alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional, Abdul Chaer dalam Sosiolinguisti Perkenalan Awal.
Pada poin, bahasa asing bertugas sebagai sarana penghubung antarbangsa, merupakan kunci sederhana tentang fungsi bahasa asing. Namun, hal sederhana inilah yang paling tidak sesuai dengan perilaku dilematis rakyat Indonesia terhadap bahasa negara. Bagaimana bisa rakyat Indonesia berbicara dengan sesama rakyat Indonesia di negara Indonesia dengan bahasa Asing? Apakah agar kelihatan keren? Apakah agar terlihat memiliki pendidikan yang tinggi? Apakah agar terlihat mengikuti perkembangan zaman? seperti halnya pembahasan penulis di bagian pertama, bahkan banyak negara asing, yang bahasanya kita banggakan dan gunakan sebagai alat komunikasi di negara kita, meminta pengajar bahasa Indonesia untuk mengajarkan bahasa Indonesia untuk rakyat mereka. Bagaimana bisa menu makanan di tempat yang paling banyak dikunjungi orang Indonesia menggunakan bahasa asing? Bagaimana bisa nama tempat atau petunjuk arah di tempat yang paling banyak dikunjungi orang Indonesia menggunakan bahasa asing? Bagaimana bisa spanduk-spanduk yang paling banyak dilihat dan dibaca oleh orang Indonesia tertulis dengan menggunakan bahasa asing atau campur kode? Seperti spanduk-spanduk yang beberapa minggu ini tampil di jalan-jalan protokol di Kota Ambon yang bertujuan untuk memberikan selamat atas terpilihnya pemimpin Keuskupan yang baru!
Poin kedua justru membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sadar akan keberadaannya. Sadar bahwa bahasa Indonesia membutuhkan bahasa asing untuk mengembangkan bahasanya. Lema Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) saat ini belum bisa menyamai lema bahasa asing seperti bahasa Inggris. Banyak kosa kata bahasa Indonesia yang merupakan penyerapan dari bahasa asing. Namun, cara penyerapannya juga memakai aturan main bahasa Indonesia. Ada bahasa asing yang diserap utuh, baik penulisan dan pemaknaanya. Ada bahasa asing yang diserap dalam bentuk terjemahan. Ada bahasa asing yang diserap pelisanan dan pemaknaannya. Namun, beberapa tahun terakhir ini, bahasa Indonesia malah menggunakan bahasa daerah untuk membantu pengembangan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, banyak bahasa daerah termasuk bahasa daerah yang ada di Maluku telah menjadi warga KBBI.
Poin ketiga dengan jelas menepatkan posisi bahasa asing sebagai bahasa yang perlu dikuasai untuk dapat dimanfaatkan bagi pembangunan nasional. Anak Indonesia perlu menguasai bahasa asing agar tidak tertinggal, tidak terintimidasi, tidak lambat dalam mengikuti perkembangan ilmu teknologi dan modernisasi. Sekali lagi “perlu kuasai” bukan “perlu utamakan”. Kedua frasa ini memiliki makna yang berbeda. Hal ini perlu dipahami oleh orang Indonesia. Frasa “perlu kuasai” artinya harus mampu atau sanggup atau dengan kata lain harus mampu berbahasa asing atau harus sanggup berbahasa asing. Kemampuan dan kesanggupan berbahasa asing itulah yang akan dimanfaaatkan untuk pembangunan nasional. Frasa “Perlu utamakan” artinya harus pentingkan, harus lebih baik dari yang lain-lain, harus terbaik, harus nomor satu. Maksudnya ialah orang Indonesia harus mementingkan bahasa Indonesia, melebihbaikan bahasa Indonesia dari bahasa lain atau menomorsatukan bahasa Indonesia.
Haruskah orang Indonesia dilema dengan bahasa sendiri? Haruskah kita dilema dengan bahasa Indonesia? Haruskan kita dilema antara tren, gengsi, dan jati diri bangsa? Jika bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa, masihkan orang Indonesia mencari jati diri? Tidakkah cukup umur yang hampir mencapai 77 di tahun 2022 untuk menjadikan orang Indonesia dewasa dan matang berbahasa? Usia ini bagi manusia ialah usia yang bukan hanya dewasa, tetapi juga tua. Usia yang tidak lagi mencari jati diri. Tidak cukupkah perjuangan para pahlawan bangsa ini membuat kita sadar dan cinta akan tanah air dan segala isinya termasuk bahasanya?
Jika kita masih dilema dengan bahasa kita, kembalilah ke dasar negara kita.
Tempatkanlah bahasa kita sesuai dengan porsinya. Utamakan bahasa Indonesia, Lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing.