David Rici Ricardo, S.S.
Pengkaji di Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Bahasa mempunyai fungsi dan peranan yang begitu penting bagi manusia. Bahasa digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan sesama di dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi komunikatif inilah yang membuat bahasa itu sangat vital. Bahasa sebagai sarana komunikasi antarsesama tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa itulah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Hal itu sejalan dengan pendapat Sobur dalam bukunya yang berjudul Semiotika Komunikasi, bahwa bahasa adalah salah satu ciri pembeda utama kita umat manusia dengan makhluk hidup lainnya di dunia (Sobur, 2013:301).
Manusia adalah makhluk sosial. Manusia pasti saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Manusia sebagai makhluk sosial merupakan kodrat dari manusia. Dalam kodratnya sebagai makhluk sosiallah, maka bahasa itu diperlukan. Kodratnya sebagai makhluk sosial mengakibatkan manusia itu, bersedia atau tidak bersedia, cepat atau lambat, berkenan atau tidak berkenan, siap atau tidak siap, harus berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnya lewat bahasa. Betapa bahasa itu memegang peranan penting di dalam kehidupan manusia.
Pada teks Sumpah Pemuda tahun 1928, terdapat butir yang berisi “Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Para pemuda saat mengikrarkan sumpah pemuda itu, menyadari pentingnya bahasa yang dapat menyatukan seluruh masyarakat Indonesia. Pentingnya bahasa sudah menjadi perhatian para pemuda yang peduli terhadap bangsa dan negaranya saat itu. Bayangkan! Pada tahun 1928, para pemuda hebat bangsa ini sudah memikirkan jauh ke depan dan mengubah cara berpikir dari kedaerahan (dengan menggunakan bahasa daerah) berubah menjadi cara berpikir nasional (dengan menggunakan bahasa Indonesia).
Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk. Kemajemukan itu dapat terlihat jelas dari jumlah suku yang terdapat di Indonesia. Sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 1.340 suku bangsa. Kemajemukan itulah yang membuat para pemuda tahun 1928, berpikir perlu ada yang menyatukan seluruh suku bangsa yang terdapat di Indonesia. Bagaimana mungkin 1.340 suku bangsa ini bisa disatukan, jika setiap suku hanya memahami dan menggunakan bahasa daerahnya masing-masing? Itulah mengapa para pemuda mengubah cara berpikir dari kedaerahan menjadi nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009, Bab III, Pasal 25 Ayat 1, menyatakan bahwa Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Perjuangan para pemuda dalam bentuk ikrar sumpah pemuda itu membuahkan hasil. Bahasa Indonesia yang digagas saat itu secara resmi dituangkan ke dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia.
Di dalam ayat selanjutnya, jelas dikatakan bahwa Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Jelas tertulis di dalam ayat 2 ini, bahwa salah satu fungsi bahasa Indonesia itu adalah sarana pemersatu bangsa. Hal ini bisa terwujud apabila seluruh masyarakat Indonesia memiliki komitmen untuk setia menggunakan bahasa Indonesia.
Kesetiaan masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia, diragukan dan perlu dipertanyakan akhir-akhir ini. Hal itu diperkuat dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang lebih memilih menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Faktanya, orang yang diajak berkomunikasi itu bukanlah orang asing, melainkan orang Indonesia. Fenomena ini dikenal dengan istilah xenomania bahasa. Xenomania bahasa yang diperlihatkan masyarakat Indonesia, tidak sesuai pada tempatnya. Tidak sesuai pada tempatnya karena orang yang diajak berkomunikasi bukanlah orang asing. Jika xenomania ini dibiarkan secara kontinu, masyarakat Indonesia dapat dipastikan kehilangan jati dirinya. Masyarakat Indonesia seharusnya mengingat dan menghargai perjuangan para pemuda yang telah mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Xenomania bahasa tampak jelas sekali terlihat di dalam komunikasi verbal (lisan dan tulisan). Hal itu bisa dengan sangat mudah untuk diperhatikan. Saat berkomunikasi secara lisan, sesekali masyarakat Indonesia menyisipkan kata yang berasal dari bahasa asing. Saat berkomunikasi secara tulisan dapat jelas terlihat dari adanya unggahan status dan komentar di media sosial (facebook, instagram, youtube, twitter, tiktok, dan sebagainya) yang selalu dihiasi dengan kata-kata dari bahasa asing. Jika salah satu fungsi bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, lalu jati diri bangsa apakah yang dipresentasikan masyarakat Indonesia dalam fenomena xenomania yang terjadi sekarang? Perlahan-lahan orang Indonesia ramai-ramai meninggalkan bahasa Indonesia dengan alasan klasik, seperti agar terlihat lebih hebat, lebih keren, lebih pintar, dan lebih berpendidikan. Padahal, jati diri bangsa Indonesia itu tergambarkan lewat setia menggunakan bahasa Indonesia.
Mempelajari bahkan menguasai bahasa asing sangat penting dan tidaklah salah. Namun, ketika sedang berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia, apakah perlu menggunakan bahasa asing? Bahasa asing yang bukan jati diri bangsa ini. Xenomania bahasa yang sedang dihadapi bangsa ini perlu diminimalisasi agar bangsa ini tidak kehilangan jati dirinya. Jika jati diri bangsa ini hilang, apa yang menjadi pembeda kita dengan negara lain? Masyarakat yang bijak adalah masyarakat yang selalu bangga dan menonjolkan jati diri bangsanya. Xenomania bahasa yang terjadi saat ini dapat diminimalisasi lewat kesetiaan menggunakan bahasa Indonesia. Kesetiaan menggunakan bahasa Indonesia dapat diajarkan mulai dari keluarga. Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.