Peribahasa Sarat Makna, Tetapi Dilupakan

Masnita Panjaitan, S.S.

Analis Kata dan Istilah Kantor Bahasa Provinsi Maluku

masnita

Saat masih sekolah dasar, saya ingat pernah belajar menulis tegak bersambung. Ketika belajar tulis tegak bersambung saya diberi buku yang berisikan peribahasa-peribahasa dalam bahasa Indonesia. Saya menuliskan kembali peribahasa dalam bahasa Indonesia di halaman yang kosong pada buku tersebut. Dengan adanya pembelajaran tulis tegak bersambung, secara tidak langsung membuat saya mengetahui  peribahasa-peribahasa yang ada dalam bahasa Indonesia. Dalam buku tersebut banyak terdapat peribahasa bahasa Indonesia yang umum diucapkan maupun didengar, bahkan biasa dibaca karena ditempel di papan mading maupun di dinding ruangan kelas di sekolah.

Salah satu peribahasa yang saya ingat adalah “Bagai air di daun talas”. Peribahasa tersebut bermakna orang yang tidak mempunyai pendirian. Makna yang terkandung dalam peribahasa biasa sangat berkaitan dengan kehidupan. Selain itu, dalam sebuah peribahasa akan tersirat makna yang berisi nasihat, prinsip hidup, perumpamaan, dan aturan tingkah laku manusia.  Jika dipahami dan dimaknai lebih mendalam, isi dari peribahasa tersebut sangat bermanfaat dalam kehidupan.

Namun, untuk di masa sekarang sepertinya siswa di sekolah sudah jarang belajar maupun mengenal peribahasa ataupun ungkapan yang ada dalam bahasa Indonesia. Hal ini sudah terbukti dari unggahan pemilik akun tiktok yang bernama @iben_ma yang membuat sebuah eksperimen mengenai peribahasa, pemilik akun tiktok mewawancarai beberapa anak untuk melengkapi peribahasa berikut.

Berakit-rakit ke hulu

Berenang-renang ke tepian

Bersakit-sakit dahulu

Bersenang-senang kemudian,

“Tong kosong nyaring bunyinya”, serta

“Lebih besar pasak daripada tiang.”

Dari ketiga ungkapan ataupun peribahasa tersebut, tidak ada satu pun anak yang berhasil melengkapi. Namun, ketika ditanya “tarik ses” langsung dijawab “semongko”. Hal ini menandakan bahwa anak-anak zaman sekarang sudah tidak familiar dengan peribahasa ataupun ungkapan dalam bahasa Indonesia. Mereka lebih akrab dengan istilah-istilah baru yang bermunculan di media sosial. Padahal, makna yang terkandung dalam peribahasa ataupun ungkapan sarat akan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Norma-norma ini bisa digunakan sebagai pedoman bagi masyarakat dalam menentukan sikap serta tingkah lakunya dalam bergaul di lingkungan masyarakat.

Makna yang terkandung dalam peribahasa bisa digunakan sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku sesuai norma. Salah satu peribahasa “berjalan pelihara kaki, berkata pelihara lidah”, sangat erat kaitannya dengan keadaan saat ini. Banyak orang yang tersandung kasus karena tidak hati-hati dalam bermedia sosial, tidak memikirkan dampak dari apa yang dilakukan, diucapkan, maupun ditulis dalam media sosial.

Sejalan dengan hal tersebut, perlu dikenalkan kembali kembali peribahasa-peribahasa dalam bahasa Indonesia saat ini kepada masyarakat, terkhusus generasi muda. Dalam KBBI versi daring maupun luring kita dapat melihat begitu banyak peribahasa dalam bahasa Indonesia beserta dengan maknya yang terkandung dalam peribahasa tersebut. Untuk melihat contoh peribahasa dalam bahasa Indonesia di KBBI, kita cukup mengetik satu kata, kemudian akan muncul makna dari kata tersebut beserta dengan gabungan kata maupun peribahasa yang terdapat kata tersebut di dalamnya. 

Jika dilihat dalam KBBI, peribahasa memiliki dua makna, yaitu (1) kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalam peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan) dan (2) ungkapan atau kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Dari kedua defenisi tersebut dapat disimpulkan peribahasa adalah ungkapan ataupun kalimat ringkas yang mengiaskan maksud tertentu, biasa berupa kalimat perbandingan, perumpamaan, aturan tingkah laku, nasihat ataupun prinsip hidup.

Dalam KBBI ungkapan merupakan bagian dari peribahasa yang bermakna kelompok atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur). Selain itu, dalam literatur yang lain, ungkapan bermakna kalimat kiasan tentang keadaan atau kelakukan seseorang yang dinyatakan dengan pepatah atau beberapa kata, contohnya panjang tangan, besar kepala, dan lain-lain.  Ada juga pendapat Anton M. Moeliono dalam Buku Pengantar Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Mahayana/Nuradji/Suhardiyanto 1997) “Ungkapan merupakan bentuk gabungan kata yang mantap sifatnya dan yang maknanya tidak dapat dijabarkan secara harfiah. Makna ungkapan itu ada yang tergolong metafora, metonim, atau personifikasi; ada yang termasuk idiom yang sejarah perkembangan maknanya sering tidak dapat dirunut lagi.“ (pendapat ini dilihat dalam salah satu salindia Bapak M. Arie Andhika Ajie saat menyampaikan materi “Fraseologi“ pada Selasa, 14 Juni 2022 saat kegiatan Peningkatan Kompetensi Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional Perkamusan dan Peristilahan di Bogor). Dari beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa ungkapan adalah gabungan kata yang memiliki makna khusus atau bermakna idiomatis,terkadang unsur-unsur maknanya menjadi kabur atau tidak dapat dapat dijabarkan secara harfiah.

Sejalan dengan ungkapan dan peribahasa yang dibahas di atas, dalam penelitian“Ungkapan Tradisional yang Berkaitan dengan Sila-Sila Dalam Pancasila Daerah Maluku“ oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1985 dijelaskan bahwa ungkapan merupakan bagian dari tradisi lisan. Ungkapan tradisional yang merupakan bagian dari tradisi lisan meliputi pepatah, peribahasa, seloka, gurindam, dan banyak yang terjalin dalam pantun. Dalam penelitian tersebut juga dilampirkan ungkapan dalam bahasa daerah di Maluku Tengah dan Maluku Utara beserta makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut. Berikut salah satu contoh ungkapan tradisional dari bahasa daerah di Seram Bagian Barat dialek Ambon yang dijumpai di Pulau Ambon (bahasa Hitu dan Tulehu) dan Pulau Haruku (bahasa Amarima).

Ay      hata      ela-ela,          mansia    lepu-repu

Kayu batang  besar-besar  manusia  benyak-banyak

“Batang kayu besar, banyak pula manusianya“, ungkapan tersebut bermakna pekerjaan besar atau berat dapat diselesaikan dengan semangat gotong royong.

Selain dari bahasa daerah di Seram Bagian Barat ada juga peribahasa ataupun ungkapan dari bahasa Kei. Ungkapan ini diperoleh dari data pengayaan kosakata bahasa Indonesia dari bahasa Kei yang dilakukan pada 15—22 Februari 2022 di Desa Waur, Rahareng Bawah, dan Wulurat, Kecamatan Kei Besar, Maluku Tenggara. Berikut beberapa contoh ungkapan atau peribahasa dari bahasa Kei. (1) abren waswasil, ungkapan yang bermakna ‘tong kosong nyaring bunyinya’; (2) ahai fadir fadoh, ungkapan yangg bermakna ‘tidak menemukan jalan keluar’; (3) ai imun ai, ungkapan yang bermakna ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ atau ‘ayah serupa dengan anak’, dan (4) bahiban enbahauk fen tilur, ungkapan yang bermakna ‘kunci emas membuka semua pintu’.

Jika ditelusuri lebih mendalam, begitu banyak peribahasa yang sarat akan nilai kehidupan, baik dari peribahasa bahasa Indonesia maupun dari bahasa daerah di Indonesia. Tiap-tiap daerah memiliki peribahasa yang memberikan pengajaran tentang arti kehidupan. Dari laman https://www.liputan6.com/regional/read/4193656/6-peribahasa-daerah-ini-ajarkan-nilai-kehidupan dihimpun beberapa peribahasa daerah yang ada di Indonesia. Salah satunya dari bahasa Batak, Piltik ni hasapi do tabo tu pinggol, anggo piltik ni hata sogo do begeon. Artinya petikan kecapi enak didengar, tetapi gosip tidak enak didengar. Peribahasa tersebut bermakna kita harus mendengarkan informasi yang benar, jangan menyebar fitnah dan gosip.

Selain dari Batak, ada juga peribahasa dari bahasa Jawa, Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa. Artinya, jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa atau menggunakan perasaan. Peribahasa tersebut bermakna selalu merasa bisa merupakan kesombongan dan hasil kerjanya pun sering tidak sebaik yang dikatakan, alangkah lebih baik dapat menggunakan perasaan karena hal tersebut merupakan sikap tenggang rasa antarsesama.

Selanjutnya, ada peribahasa dari bahasa Makasar, Angulummi naung batu lompoa nanggulung naik batu-batu cakdia. Artinya, batu besar sudah bergulir ke bawah, sedangkan batu kecil bergulir ke atas. Peribahasa tersebut bermakna orang-orang berpangkat dan berpengaruh telah kehilangan wibawa dan pengaruhnya, sementara orang kecil (karena suatu hal) muncul ke permukaan. Peribahasa yang terakhir dari bahasa Papua, Apuni inyamukut werek halok yugunat tosu. Artinya, berbuatlah sesuatu yang terbaik terhadap sesama. Peribahasa yang sarat akan makna kehidupan tersebut sebaiknya lebih dikenal dan dipahami oleh generasi penerus. Hal tersebut karena selain menjaga kekayaan nilai budaya sekaligus menerapkan norma-norma kehidupan masyarakat Indonesia yang dikenal memiliki tata krama, sopan sopan santun, toleransi, dan memikili semangat gotong-royong.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four × one =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top