Herlina Inge Tomasoa, S.S.
Negeri Soya adalah sebuah negeri adat, terletak di pinggir Kota Ambon, dengan puncak gunung Sirimau sebagai ikon. Negeri Soya merupakan salah satu desa di kota Ambon yang masih menggunakan bahasa daerah dan menjaga serta menjunjung warisan nilai adat istiadat dan sastra lisan berbahasa daerah, contohnya, tradisi cuci Negeri Soya.
Cuci Negeri Soya merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap tahun pada minggu kedua bulan Desember dengan tujuan untuk membersihkan negeri secara gotong royong dan menjalin nilai-nilai persatuan serta persaudaran masyarakat. Tradisi cuci negeri Soya dimulai dengan rapat saniri kemudian dilanjutkan dengan perjalanan rombongan tokoh adat ke gunung Sirimau. Seorang laki-laki akan meniup bia agar menarik perhatian masyarakat sebelum tokoh adat mengumumkan perintah raja untuk megikuti tradisi cuci negeri Soya. Pada saat pembersihan, tokoh adat menyampaikan permohonan kepada Sang Pencipta agar Negeri Soya beserta penduduknya terhindar dari bahaya dan penyakit. Setelah proses pembersihan negeri oleh semua warga, acara puncak cuci negeri akan dimulai dengan penyambutan rombongan dari gunung Sirimau. Rombongan disambut dan dijamu secara adat, yaitu dengan menerima sirih pinang dan minum sopi, serta nyanyian Suhat. Salah seorang ibu akan menyambut raja dengan mengucapkan Tabea Upulatu Jisayehu, Nyora Latu Jisayehu, Guru Latu Jisayehu, Upu Wisawosi, selamat datang silahkan masuk sebagai bentuk penghormatan kepada raja. Selanjutnya, seluruh warga akan berkumpul di Baileo untuk mengikuti prosesi adat, seperti mendengar kapata dalam bahasa daerah oleh tua adat, pidato oleh raja, dan pembersihan baileo secara simbolik menggunakan sapu lidi diiringi musik totobuang dan nyanyian suhat. Bagian selanjutnya dari prosesi adat ini ialah para peserta adat akan dilingkari dengan kain putih panjang yang sering disebut kain gandong. Setelah itu, mereka akan diiring hingga masuk dalam pesta negeri yang berlangsung hingga malam.
Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa sastra lisan berbahasa daerah muncul dalam tradisi cuci negeri Soya. Sastra lisan yang dimaksud, yaitu kapata dan 8 lagu suhat yang dinyanyikan bersama-sama oleh semua masyarakat negeri Soya dengan iringan tifa dan totobuang.. Sastra lisan dalam tradisi cuci negeri Soya memiliki fungsi sebagai pengingat sejarah, penghormatan kepada leluhur, ucapan syukur, dan pengukuh keagamaan. Sastra lisan yang sarat akan makna ini memang masih digunakan setiap tahun. Namun, jumlah penutur yang menguasai sastra lisan ini terus berkurang. Hal ini menjadi sebuah permasalahan yang perlu ditangani dengan serius karena punahnya bahasa dan sastra suatu daerah berarti satu warisan dan kekayaan bangsa hilang. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 (UURI No. 24/2009) dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 (PP No. 57/2014), upaya pelindungan bahasa dan sastra merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya masyarakat pemilik sastra tersebut melainkan pemerintah pun harus terlibat. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dilakukan penulis sebagai pengkaji bahasa dan sastra, yakni dengan melakukan inventarisasi dan kajian vitalitas sastra lisan dalam tradisi cuci negeri Soya.
Vitalitas sastra merupakan vitalitas atau daya hidup sastra yang menunjukkan intensitas performa dan eksistensinya dalam konteks sosial (Badan Bahasa, 2019). Kajian vitalitas sastra bertujuan untuk mengetahui status suatu karya sastra serta pewarisan dan dukungan komunitasnya. Petunjuk Teknis Kajian Vitalitas Sastra menyebutkan bahwa terdapat 6 tingkatan status vitalitas sastra, yakni (1) aman, (2) rentan, (3) mengalami kemunduran, (4) terancam punah, (5) kritis, dan (6) punah.
Kajian vitalitas sastra lisan dalam tradisi cuci negeri Soya dilakukan dengan metode wawancara. Raja Negeri Soya, tokoh adat, tenaga pendidik dan dua perwakilan generasi muda menjadi lima narasumber dalam kajian ini. Pertanyaan yang diajukan disusun berdasarkan Petunjuk Teknis Kajian Vitalitas Sastra yang disusun oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Pertanyaan mengenai intensitas penggunaan sastra lisan, penguasaan bahasa daerah dalam sastra tersebut, dan pewarisan kapata serta lagu suhat yang dituturkan dalam tradisi cuci negeri Soya diajukan kepada narasumber. Kesimpulan sementara oleh penulis berdasarkan jawaban narasumber ialah status vitalitas sastra lisan dalam tradisi cuci negeri Soya mengalami kemunduran karena sastra lisan masih digunakan dalam ranahnya, maksudnya ialah sastra lisan ini hanya dilakukan saaat prosesi adat. Sastra lisan dalam tradisi cuci negeri Soya masih dituturkan dalam prosesi cuci negeri setiap tahunnya dan dinyanyikan sesuai urutan prosesinya, misalnya saat berada di Baileo, masyarakat akan menyanyikan lagu suhat yang dikhususkan untuk dinyanyikan di Baileo. Itu berarti bahwa sastra lisan ini tidak dapat diciptakan atau diubah syairnya secara tiba-tiba. Oleh karena itu mereka membutuhkan waktu untuk menghapal setiap lirik dan latihan yang intens menjelang acara cuci negeri.
Selain itu, sastra lisan tersebut hanya diwariskan di dalam keluarga dan oleh marga tertentu saja. Raja dan beberapa tokoh adat menyatakan bahwa sastra ini sebenarnya bisa dinyanyikan oleh siapa saja. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan tokoh adat bahwa bahwa beberapa tahun silam, sebelum memulai prosesi cuci negeri, selalu diadakan latihan bersama seluruh warga Soya sehingga tokoh adat dan penutur sastra lisan masih bisa mengajarkan lagu suhat kepada generasi muda. Namun, melihat kemampuan berbahasa daerah masyarakat soya yang hampir tidak lagi diasah dalam kehidupan sehari-hari, membuat penulis setuju dengan penuturan beberapa generasi muda bahwa hanya marga tertentu saja, seperti marga Pesulima, Huwaa, dan Rehatta yang bisa menyanyikan setiap lirik dalam sastra lisan tersebut. Jadi orang tua dalam marga-marga tersebut mewariskan kepada generasi penerusnya saat sudah lanjut usia karena merasa tidak mampu lagi mengikuti prosesi cuci negeri.
Bagian penting dalam pewarisan ini juga tidak dilakukan oleh pemerintah di tingkat desa dan provinsi. Seiring berjalannya waktu, proses latihan itu tidak lagi diadakan dan pemerintah pun tidak memiliki aturan khusus mengenai pewarisan. Salah satu cara pewarisan yang bisa dilakukan ialah dengan diajarkan di sekolah, tetapi hal ini pun belum dilakukan. Sastra lisan tersebut tidak juga dilakukan sebagai bentuk muatan lokal oleh pemerintah provinsi sebagai bentuk pewarisan. Dengan kata lain, pewarisan ini hanya dapat dilakukan setahun sekali menjelang cuci negeri. Pewarisan setahun sekali ini juga memungkinkan tidak ada jaminan eksistensi generasi yang sama setiap tahun. Setiap tahun generasi yang tua bisa saja meninggal dan generasi muda bisa saja tidak lagi ada di negeri tersebut. Jadi, penulis dapat memastikan bahwa sastra lisan yang ada di Negeri Soya, yang hadir setiap proses adat cuci negeri, akan punah lebih cepat dari yang diperkirakan.
Sebenarnya, status vitalitas sastra lisan dalam tradisi cuci negeri Soya ini dapat terus berubah bergantung perilaku masyarakat dan pemerintah terhadap warisan budaya tak benda ini. Penelitian lanjutan terhadap sastra lisan dalam tradisi cuci negeri Soya juga sangat disarankan sebagai usaha untuk mewariskan kekayaan bangsa pada generasi selanjutnya. Upaya pelindungan bahasa dan sastra daerah memang merupakan usaha yang tidak terlihat secara materi namun memiliki sumbangan yang sangat berharga dalam upaya menjaga dan melindungi kekayaan bangsa.
Referensi
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. 2019. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Revitalisasi Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Pengembangan, Pembinaan, Dan Pelindungan Bahasa Dan Sastra, Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan.
Pingback: Mengenal Lebih Dekat Adat Nyuci Negeri Soya - Penelitian Pariwisata RIPPDA