Zahrotun Ulfah, S.S.
Pengkaji di Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Indonesia ialah negara yang terdiri dari gugusan pulau, terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Negeri yang dikenal dengan Zamrud Katulistiwa ini memiliki kurang lebih 17.508 pulau, baik besar maupun kecil. Selain kekayaan sumber daya alam yang melimpah, kondisi geografis dan topografi di Indonesia melahirkan karakter dan budaya yang beraneka ragam. Salah satu kekayaan budaya tersebut ialah cerita rakyat yang dimiliki oleh hampir setiap daerah di Indonesia.
Menurut Danandjaja (2007:3—4), cerita rakyat ialah salah satu bentuk karya sastra yang lahir dan berkembang dari masyarakat tradisional. Cerita rakyat biasanya memiliki bentuk lisan dan dituturkan secara turun-temurun sehingga tidak dikenal pengarangnya (anonim). Cerita rakyat juga menjadi media penyampai nilai luhur budaya lokal yang dapat diteruskan kepada generasi muda. Melalui fungsi tersebut, cerita rakyat mampu menjadi bagian dalam pembagunan identitas masyarakat. Tidak heran jika cerita rakyat merupakan salah satu kekayaan budaya yang wajib dilestarikan keberadaannya. Terlebih lagi di era saat ini ketika identitas kultural semakin pudar, peran cerita rakyat menjadi ‘senjata’ yang efektif untuk melawan tantangan tersebut.
Pengenalan cerita rakyat kepada anak-anak, terutama anak usia dini sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan anak usia dini berada pada fase penting pembentukan karakter. Pada usia inilah waktu yang tepat untuk penanaman nilai dan norma, serta kebiasaan baik bagi anak-anak. Kebiasaan baik yang dimulai dari kecil diharapkan dapat tertanam hingga kelak ia dewasa.
Selain bermanfaat dalam membentuk karakter, cerita rakyat juga dapat menumbuhkan budaya literasi pada anak usia dini. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah ‘Apakah cerita rakyat tersebut sudah ramah bagi anak-anak?’. Sebagaimana diketahui, tidak jarang cerita rakyat disajikan dengan mengandung unsur-unsur kekerasan, kebencian, bahkan mengandung unsur SARA yang tidak sesuai dengan tumbuh kembang anak (Purwita, 2015:15). Bahkan, terdapat romansa percintaan yang belum sesuai dengan jenjang anak usia dini, misalnya cerita Tangkuban Perahu. Cerita ini mengisahkan seorang anak yang jatuh cinta kepada seorang wanita yang ternyata adalah ibu kandungnya.
Sebelum membahas cerita rakyat yang ramah anak, perlu diketahui pengertian cerita anak. Menurut Rampan dalam Subyantoro (2007:10), cerita anak ialah karya sastra anak yang mengisahkan peristiwa atau pengalaman kehidupan anak-anak dengan semua aspek yang memengaruhi. Cerita anak ialah cerita-cerita yang ditujukan untuk anak-anak. Cerita yang ditulis dengan menggunakan sudut pandang anak dan isi ceritanya sesuai dengan dunia atau perkembangan anak. Dari pengertian itu diharapkan cerita rakyat yang disajikan untuk anak-anak selayaknya dapat memenuhi nilai tersebut. Dengan demikian, fungsi cerita anak dalam membentuk karakter anak yang penuh nilai dan budaya dapat tercapai.
Peran orang tua dalam menanamkan karakter melalui cerita rakyat menjadi sangat penting. Peran tersebut dapat dilakukan dengan pemilihan cerita rakyat yang sesuai dengan jenjang usia anak, misalnya dengan pemilihan tema dan tokoh dalam cerita. Tidak serta merta cerita rakyat yang disajikan dengan gambar dan ilustrasi menarik sudah pasti sesuai dan baik untuk anak. Terlebih lagi untuk anak usia dini perlu diberikan perhatian mendalam pada nilai yang ingin disampaikan, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam cerita dapat dipahami dan nilai-nilai kebaikan dapat diinternalisasi oleh anak dengan baik.
Selanjutnya, terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh orang tua atau pencerita agar cerita rakyat yang disajikan untuk anak tetap memenuhi kriteria cerita rakyat ramah anak. Meramahkan cerita rakyat untuk anak bukan berarti harus mengubah struktur cerita rakyat secara menyeluruh. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah mengganti kata-kata yang merujuk pada kekerasan, hal-hal tidak sopan, atau kata-kata yang tabu untuk anak dengan pilihan kata lain yang lebih sopan. Misalnya kata ‘menampar’, ‘memukul’, ‘menendang’ dapat diganti dengan ‘memberi hukuman’. Teknik menggunakan kata yang memiliki makna lebih umum dapat mengurangi kata-kata yang dirasa tidak ramah untuk anak. Meramahkan cerita rakyat juga dapat dilakukan dengan cara memfokuskan cerita pada bagian yang syarat dengan nilai moral. Cerita rakyat dapat dimodifikasi atau disederhanakan dengan mengambil bagian penting yang mengarahkan pada muatan nilai moral. Bagian yang merujuk pada ketidakramahan pada anak, misalnya tentang kekerasan, dapat disederhanakan detail ceritanya tanpa mengubah alur cerita. Dengan memperhatikan aspek ramah anak, peran cerita rakyat sebagai media pendidikan moral dapat dipenuhi. Perlu disepakati bahwa ketidakramahan cerita rakyat bagi anak-anak justru membawa pengaruh yang kurang baik untuk perkembangan anak. Nilai-nilai moral yang seharusnya diserap anak justru dikaburkan oleh hal-hal yang sebaiknya tidak menjadi konsumsi anak-anak.