Sahril, S.S., M.Pd.
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Semenjak tahun 1980, kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra rutin diadakan setiap bulan Oktober dan puncaknya adalah pada tanggal 28 Oktober. Sejarah telah mencatat bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 oleh pemuda kita kala itu telah dicetuskan ikrar pemuda yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Salah satu ikrarnya adalah “Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”.
Penempatan kata ‘menjunjung’ memiliki makna menempatkan posisi bahasa Indonesia itu di tempat yang tertinggi, dimuliakan. Namun, kalau kita cermati saat ini, bagaimana penggunaan bahasa Indonesia itu? Penggunaan bahasa Indonesia saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Di satu sisi, kita menyaksikan di ruang-ruang publik bahasa Indonesia nyaris tergeser oleh bahasa asing. Ruang publik yang seharusnya merupakan ruang yang menunjukkan identitas keindonesiaan melalui penggunaan bahasa Indonesia ternyata sudah banyak disesaki oleh bahasa asing.
Di sisi lain, mutu penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah, baik ranah kedinasan, pendidikan jurnalistik, ekonomi, maupun perdagangan, juga belum membanggakan. Dalam berbagai ranah tersebut, campur aduk penggunaan bahasa masih terjadi. Berbagai kaidah yang telah berhasil dibakukan dalam pengembangan bahasa juga belum sepenuhnya diindahkan oleh para pengguna bahasa.
Masyarakat Indonesia memang sudah menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun, produksi penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat kita justru banyak ditemukan kesalahantidak logis, maupun tidak baku. Ketika kata yang salah tidak logis atau tidak baku itu dipakai dalam kalimat berkomunikasi, dikhawatirkan kalimat itu tidak berlogika. Bahasa yang tidak logika, maka informasinya disampaikan pun akan tidak sampai. Sementara itu, kita juga cenderung menggunakan kata atau istilah yang dianggap sudah benar oleh sebagian penutur, tetapi kata atau istilah itu tidak baku. Fenomena-fenomena ini cukup tinggi terjadi di tengah masyarakat Indonesia.
Misalnya, kata ritsleting ‘alat penutup pakaian (baju, celana, dan sebagainya)’, tetapi umumnya masyarakat kita menuturkan ‘resleting’. Istilah wawas diri ‘mewawas diri, introspeksi’, tetapi masyarakat justru banyak menuturkan ‘mawas diri’, padahal kata mawas berarti ‘orang utan’. Kata debit ‘piutang’, selalu diucapkan debet.
Ada sebuah tulisan berita misalnya, kapolda mengimbau agar para pengunjuk rasa tidak bertindak anarkis.Kata anarkis berkelas kata nomina dan bermakna ‘penganjur (penganut) paham anarkisme’ atau ‘orang yang melakukan tindakan anarki’. Dari pengertian itu, anarkis bermakna ‘pelaku’ atau ‘orang yang melakukan’, dan tidak menyatakan ‘sifat anarki’. Padahal, kalimat tersebut membutuhkan kata sifat untuk menjelaskan verba ‘bertindak’. Sebenarnya, kalimat yang tepat adalah, kapolda mengimbau para pengunjuk rasa agar tidak bertindak anarkistis. Kata anarkistis ‘bersifat anarki’.
Penambahan konsonan ‘h’ juga sering ditemukan pada kata hutang, himbau, silah, handal, hembus, hisap padahal yang baku adalah utang, himbau, sila, andal, embus, isap. Misalnya dalam kalimat, undangan dipersilahkan masuk. Seharusnya undangan dipersilakan masuk.
Ditemukan juga adanya masalah dalam hal penggunaan kalimat logis dan tidak logis dalam pola komunikasi di tengah masyarakat. Kalimat logis adalah perkataan yang masuk akal. Logis artinya sesuai dengan logika, benar menurut penalaran atau masuk akal. Berikut contoh kalimat yang tidak logis yang kerap muncul dalam komunikasi di masyarakat.
- Saya mengajar mata kuliah jurnalistik di kampus. Kalimat ini tidak logis karena yang diajar mata kuliah, bukan mahasiswa. Seharusnya, saya mengajarkan mata kuliah jurnalistik di kampus.
- Waktu dan tempat kami persilakan. Kalimat ini tidak logis karena yang dipersilakan waktu dan tempat, bukan pembicara. Seharusnya, kepada Bapak X, kami persilakan.
- Kampus kami lulusannya berkualitas dan mudah bekerja. Kalimat ini tidak logis karena mengandung dua subjek, yakni ‘kampus kami’ dan ‘lulusannya’. Seharusnya, lulusan kampus kami berkualitas dan mudah bekerja.
Selanjutnya, banyak ditemukan imbauan, seperti hati-hati banyak kecelakaan! Kalimat ini tidak logis, karena di tempat yang ditulis imbauan itu tidak terlihat ada kecelakaan. Kalimat logisnya ialah hati-hati, rawan kecelakaan atau hati-hati sering terjadi kecelakaan.
Jalannya macet. Kalimat ini jelas tidak logis, karena jalan tidak bias macet. Macet itu artinya terhenti, tidak lancar. Yang terhenti justru kendaraan, bukan jalannya! Jadi, kalimat logisnya ialah lalu lintas macet.
Biasanya, dalam surat undangan kita temukan kalimat atas kehadirannya kami haturkan terima kasih. Kalimat atas kehadirannya tidaklogis, ‘nya’ menunjuk siapa? ‘nya’ berfungsi sebagai orang ketiga, sementara surat sebagai sarana komunikasi dengan pihak kedua, antara pengirim dan penerima. Jadi, seharusnya atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara. Begitu juga kalimat kami haturkan, ini memang logis, tetapi tidak baku. Kata ‘hatur’ atau ‘haturkan’ bukan bahasa Indonesia. Hatur itu bahasa Sunda. Hatur nuhun yang bermakna menyampaikan terima kasih, ngahaturkeun ‘menyampaikan’.
Kalimat pasif hadirin dimohon berdiri biasanya dikemukakan pewara atau pembawa acara dalam suatu acara formal. Kalimat ini tidak logis karena tidak disebutkan subjek, yang memohon, atau pemohonnya. Kalimat logisnya, hadirin dimohon berdiri oleh panitia. Kalimat pasifnya ialah panitia memohon hadirin untuk berdiri.
Kalimat untuk mempersingkat waktu sering diucapkan oleh pembawa acara atau pemandu acara. Mengapa tidak logis? Alasannya, waktu tidak bias disingkat (dipendekkan atau diringkas). Sudah menjadi standar bahwa satu menit tidak bias disingkat menjadi kurang dari 60 detik. Satu jam akan selalu tetap 60 menit. Satu hari sampai kapan pun akan tetap 24 jam. Kalimat logisnya untuk memanfaatkan waktu, atau langsung saja dikatakan mari kita mulai acara ini dengan membaca basmalah!
Penghilangan salah satu subjek dalam kalimat majemuk juga sering menimbulkan salah logika. Misalnya ‘Karena berusaha kabur, polisi terpaksa menembak kaki si penjahat.’ Siapa yang kabur? Si Polisi. Siapa yang menembak? Si Polisi. Mari kita bandingkan dengan kalimat berikut: ‘Karena berusaha kabur, Romi lupa membawa sandalnya.’ Siapa yang kabur? Romi. Siapa yang lupa bawa sendal? Romi. Logikanya: Romi berusaha kabur, sehingga dia terburu-buru dan lupa membawa sandalnya. Kalimat ini logis.
Mari kita lihat pada kalimat ini karena berusaha kabur, polisi terpaksa menembak kaki si penjahat. Penafsirannya, polisi berusaha kabur, dia dikejar penjahat jadi menembak. Logikanya begini, polisi berusaha kabur, dikejar si penjahat. Polisi lalu menembak kaki si penjahat agar dia tidak bias mengejarnya. Padahal, yang dimaksud kalimat itu adalah si penjahat berusaha kabur, jadi polisi terpaksa menembak kaki si penjahat. Ketidakjelasan kalimat tadi ada pada salah satu subjek yang menghilang. Dalam kalimat tersebut sebenarnya ada dua subjek. Sebuah kalimat minimal harus memiliki satu subjek dan satu predikat. Dalam gabungan dua kalimat tersebut hanya ada satu subjek.
Ketidaklogisan kalimat juga bias muncul dalam penggunaan sejumlah kata, misalnya bergeming, mengentaskan, dan acuh. Misal ada yang menulis dalam kalimat, dia diam tak bergeming. Kata bergeming bermakna ‘tidak bergerak sedikit juga; diamsaja’. Kalimat ini tidak logis karena maknanya menjadi ‘Dia diam tak tidak bergerak sedikit pun.’
Ada juga kalimat seperti ini, gerakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan.
Kata mengentaskan bermakna memperbaiki (menjadikan, mengangkat) nasib. Kalimat ini tidak logis karena si kemiskinanlah yang diangkat dan diperbaiki nasibnya.
Dalam sebuah dialog, misalnya kita menemukan tulisan, kamu selalu mengacuhkanku, Rangga. Yang kamu lakukan ke saya itu, jahat! Kata acuh bermakna peduli. Kalimat ini tidak logis karena Rangga peduli sama Cinta, kok dibilang jahat?
Satu lagi istilah yang sebenarnya tidak logis, tetapi sudah telanjur menyebarluas di masyarakat adalah ‘kebohongan publik’; ‘Di persidangan, pejabat A dituduh telah melakukan kebohongan publik.’ Siapa yang berbohong? Publik atau Pejabat A? KBBI mengartikan ‘kebohongan’ sebagai ‘perihal bohong; sesuatu yang bohong’. Jadi, dalam istilah kebohongan publik, si publik lah yang berbohong. Kalau kalimatnya ‘Di persidangan, pejabat A dituduh telah melakukan kebohongan publik,’ maka maknanya adalah Pejabat A dituduh melakukan kebohongan yang dilakukan publik.
Bandingkan dengan ‘kejujuran publik’ atau ‘kejujuran masyarakat’, dalam hal ini yang berlaku jujur adalah public atau masyarakat. Oleh karena itu, istilah ‘kebohongan publik’ seharusnya diganti dengan ‘pembohongan publik’ agar maknanya Pejabat A sebagai orang yang telah membohongi publik. Jadi, kalimat logisnya adalah ‘Di persidangan, pejabat A dituduh telah melakukan pembohongan publik.’
Tanpa kita sadari, kita sering kali menghasilkan kalimat tidak logis. Dalam ucapan lisan, mungkin perbedaannya tidak terlalu kentara. Namun, kalimat-kalimat tidak logis ini akan terbaca ketika kita menuliskannya. Oleh karena itu, upayakan untuk menghindari dan menguranginya.
Berikut beberapa kata-kata yang dari segi ejaan selalu salah, tidak baku yang digunakan oleh sebagian masyarakat kita. Yang dalam kurung tidak baku, tolok ukur (tolak ukur), standardisasi (standarisasi), aktivitas (aktifitas), amendemen (amandemen), ambulans (ambulan), respons (respon), amfibi (ampibi), analisis (analisa), antre (antri), asas (azas), atlet (atlit), atmosfer (atmosfir), hierarki (hirarki), autentik (otentik), balsam (balsem), hakikat (hakekat), karier (karir), khawatir (kuatir), komersial (komersil), koordinasi (koordinir), legalisasi (legalisir), reumatik (rematik), risiko (resiko), saksama (seksama).