Sikap Berbahasa dan Vitalitas Bahasa Daerah

Sahril, S.S., M.Pd.

Kepala Kantor Bahasa Provinsi Bahasa Maluku, Kemdikbudristek

Artikel ini telah terbit di harian Kabar Timur

Jumlah penutur bahasa Indonesia mengalami peningkatan tajam dari dekade ke dekade. Diperhitungkan ada 92% penduduk Indonesia mampu berbahasa Indonesia. Tingginya jumlah penutur bahasa Indonesia tidak berarti pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi tidak ada masalah.

Secara umum ada dua masalah yang terjadi dalam hal penggunaan bahasa Indonesia, yaitu: sikap berbahasa yang negatif dan pemakaian bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris.

Sikap bahasa adalah posisi linguistik, persepsi, dan tindakan masyarakat penutur terhadap bahasa mereka kuasai (Jendra, 2010). Gagasan tentang sikap bahasa adalah pemahaman penting dalam konsep masyarakat tutur. Sikap bahasa dapat bersifat positif maupun negatif. Sikap bahasa yang positif akan diikuti dengan tindakan positif, sebaliknya sikap bahasa yang negatif juga ditunjukkan oleh tindakan yang negatif.

Pada masa orde baru sejak kemampanan Indonesia dalam bidang ekonomi banyak muncul kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas. Kelompok masyarakat elite ini yang kebanyakan golongan dengan ekonomi mapan dan dapat mengecap pendidikan tinggi berasumsi bahwa kemampuan berbahasa Inggris bersifat sangat prestise yang menandakan status sosial seseorang dalam pergaulan sehingga acap kali mereka sengaja atau tidak sengaja menggunakan atau menyelipkan kata-kata berbahasa Inggris dalam percakapan (Sneddon, 2003). Fenomena sosiolinguistik ini diistilahkan dengan kontak bahasa. Jendra (2010:67) mendefinisikan fenomena ini sebagai situasi sosiolinguistik di mana dua atau lebih bahasa yang digunakan secara bersamaan atau dicampur satu dengan yang lain. Fenomena ini masih bertahan hingga kini bahkan lebih meluas lagi ke aspek-aspek kehidupan sejak arus globalisasi melanda dunia.

Sebagai contoh di Maluku. Masyarakat Maluku, dewasa ini setidaknya ada empat bahasa yang mereka kenal dan/atau mereka pakai, yaitu: bahasa Indonesia, bahasa Melayu Ambon, bahasa daerah, dan bahasa asing (Inggris). Saat seorang anak memasuki sekolah dasar, maka saat itu dia sudah diperkenalkan untuk menguasai bahasa Indonesia. Selanjutnya, saat memasuki jenjang pendidikan berikutnya, maka bahasa asing pun akan mereka pelajari. Bahasa Melayu Ambon umumnya dipakai pada kegiatan interaksi sosial. Sementara bahasa daerah, hanya dipakai oleh kalangan generasi tua, yaitu pada kegiatan adat. Fenomena yang terjadi di wilayah Maluku, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon lebih dominan, menjadi bahasa mayoritas. Lalu ada anggapan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon bagi penutur lebih berprestise dibanding bahasa daerah (?).

Dominasi pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon dalam komunikasi sehari-hari menekan pemakaian bahasa-bahasa daerah hampir di seluruh wilayah Provinsi Maluku. Di beberapa daerah, orang tua tidak lagi menurunkan bahasa daerahnya kepada anak-anak mereka. Hanya orang tua dan masyarakat tua-tua adat berumur di atas 40 tahun menggunakan dengan baik, terutama di dalam upacara-upacara adat, rapat saniri dengan anggotanya. Akibatnya, seiring dengan waktu, bahasa Melayu Ambon yang dahulu merupakan bahasa kedua bagi beberapa etnis di Maluku menggeser kedudukan bahasa lokal dan berkembang menjadi bahasa ibu bagi etnis-etnis di Maluku. Fenomena demikian semakin melemahkan kedudukan bahasa-bahasa daerah (Muhammad dan Manilet, 2020:2—3).

Pemakaian bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris. Penyebaran globalisasi di dunia telah memengaruhi perkembangan zaman dan berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam bidang pendidikan dan IPTEK, bahasa Inggris membantu kemampanan bahasa Indonesia untuk mengekspresikan berbagai konsep dan ide dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan melalui pengayaan istilah-istilah sains. Dalam Bidang ekonomi dan bisnis, banyak terjadi penggunaan bahasa Indonesia yang melanggar kaidah dan undang-undang kebahasaan. Saat ini sangat banyak iklan baik di media cetak maupun elektronik yang secara serampangan menggunakan bahasa Inggris secara parsial maupun utuh. Berbagai merek barang, jasa, nama toko, gedung, apartemen, komplek perdagangan dan perkantoran, organisasi maupun lembaga pendidikan juga tidak mau ketinggalan zaman untuk menggunakan bahasa Inggris. Padahal, hal ini sudah diatur dalam undang-undang No. 24/2009 (pasal 36).

Sebagai contohnya, di era globalisasi ini, banyak sekali budaya asing yang masuk ke Indonesia, termasuk bahasa asing. Sehingga, sudah bukan hal yang langka ketika bahasa Indonesia digabung dengan bahasa asing. Terutama dikalangan remaja, banyak kata baru yang sering disebut dengan “bahasa gaul”. Hal ini tentunya dapat berpengaruh buruk terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bahasa di Indonesia mempunyai jumlah penutur yang sangat beragam. Vitalitas bahasa daerah di Indonesia menyebar dari status yang paling aman hingga yang benar-benar punah. Di antara bahasa di Indonesia, terdapat tiga bahasa yang penuturnya lebih dari 10 juta jiwa, yaitu bahasa Jawa (penuturnya sekitar 84,3 juta jiwa), bahasa Sunda (penuturnya sekitar 34 juta jiwa), dan bahasa Madura (penuturnya sekitar 13,6 juta jiwa). Lalu, bagaimana pula penutur bahasa daerah di Maluku?

Bahasa yang dianggap rentan akan kepunahannya adalah bahasa-bahasa daerah di Maluku. Jika melihat populasi penduduk Maluku yang sekitar dua juta jiwa saja. Lalu, saat ini ada 70 bahasa daerah yang tersebar di wilayah kepulauan Maluku. Maka secara statistik, vitalitas bahasa daerah di Maluku cukup rentan menuju kepunahan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

five × three =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top