Indrayadi, S.S.
Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Artikel ini telah terbit di harian Siwalima.
Saat mendengar kata mantra, mungkin pikiran langsung tertuju pada hal-hal mistis, seperti pelet, nyanyian khusus, atau kata-kata terkait dengan harapan untuk hidup yang lebih baik. Untuk lebih jelas, akan dikemukakan pengertian tentang mantra. Mantra terdiri atas dua suku kata, yaitu man yang berarti ‘pikiran’, dan tra yang berarti ‘kendali’. Hal tersebut dikemukakan oleh Yunita Furinawati dalam tesisnya “Ritual Mantra Galungan dalam Lingkungan Masyarakat Dukuh Wonomulyo Magetan”, 2010. Dalam KBBI VI Daring, mantra diartikan sebagai rangkaian kata yang memiliki unsur puisi, seperti rima dan irama, yang diyakini ada kekuatan gaib, dan sering diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib lainnya. Berdasarkan kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa mantra adalah rangkaian kata atau kalimat yang mengandung kebijaksanaan dan kekuatan gaib.
Setelah mengetahui pengertian tentang mantra, perlu dijelaskan mengenai bentuk–bentuk mantra yang ada. Bentuk-bentuk mantra dikategorikan dalam empat jenis, yakni pertama, mantra berpantun. Menurut Panuti Sudjiman dalam buku berjudul Kamus Istilah Sastra, 1984, hlm. 55, mantra berpantun adalah jenis puisi klasik yang terdiri atas empat larik dengan pola sajak a-b-a-b, yaitu setiap larik terdiri atas empat kata. Larik pertama dan kedua sering disebut sebagai sampiran, diikuti oleh dua larik berikutnya yang menyampaikan inti atau makna pokok. Kedua, mantra bentuk prosa lirik. Menurut Panuti Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, 1984, hlm. 61, prosa lirik adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk ragam prosa, tetapi dicirikan oleh unsur puisi, seperti irama teratur, majas, rima, asonansi, konsonansi, dan citraan. Ketiga, mantra dalam bentuk puisi. Mantra dalam bentuk puisi adalah jenis sastra yang bahasanya diatur oleh irama, metrum, rima, serta struktur larik dan bait (Sudjijono, dalam Ragam Puisi Lama, 1984, hlm. 61). Keempat, mantra bentuk kidung. Dikutip dari KBBI VI Daring, kidung merupakan bentuk nyanyian, lagu, atau syair yang dilantunkan. Zoetmulder dalam karyanya Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1984, hlm.142) mengungkapkan bahwa kidung merupakan jenis puisi Jawa kuno yang menggunakan metrum-metrum asli Jawa.
Demikian telah dijelaskan mengenai bentuk-bentuk mantra yang berlaku di masyarakat. Jika berbicara mantra secara konteks ilmu, mantra menggunakan bahasa Sansekerta, sedangkan doa menggunakan bahasa Arab. Doa dalam KBBI VI Daring adalah permohonan atau pujian kepada Tuhan. Hasan bin Ahmad, dalam bukunya Terapi melalui Praktik-Praktik Keagamaan (2005, hlm. 44), menjelaskan bahwa kata du’a berasal dari bahasa Arab da’a-yad’u-da’adatun yang memiliki arti memanggil, mengundang, meminta tolong, meminta, dan memohon. Dari kedua pengertian tersebut, ternyata doa memiliki kesamaan arti dengan mantra, yaitu mengacu pada tindakan memohon.
Bagaimana dengan mantra yang berada di Maluku? Istilah mantra di tanah Maluku dikenal dengan kapata.Latupapua (2013) dalam artikel yang berjudul “Kapata Sebagai Penutur Sejarah Masyarakat Maluku” mengemukakan bahwa kapata salah satu bentuk sastra lisan yang dimainkan oleh masyarakat Alifuru, baik dalam bentuk puisi yang diucapkan maupun dinyanyikan. Salah satu kapata yang masih digunakan dan populer di Maluku adalah kapata dalam permainan bambu gila, seperti petikan mantra berikut ini yang dipaparkan oleh Helmina Kastanya (2012) dalam laporan penelitian berjudul “Mantra dalam Tarian Bambu Gila”.
Au Upu Matenae, Au Wupu Tuhinane
Imoi Lou Imoi Laha
Imi Apa Jin-Jin 150 Malaikat
Ale Imi Bantu You
Berkat La illa Hilala
Berkat Muhammad Razul Allah
Berkat Upu Acan Bisa Mustajab
Berdasarkan contoh mantra tadi, ada pola repetisi yang dapat mengendalikan pikiran manusia agar mencapai tujuan tertentu. Dilihat dari bentuknya, mantra bambu gila termasuk ke dalam bentuk mantra puisi karena pola akhir kalimat yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan pada awal kalimat.
Apakah mantra bambu gila masih dipakai di masyarakat? Mantra tersebut masih dipakai di masyarakat karena memiliki dua jenis kegunaan. Kegunaan pertama adalah sebagai mantra pengusir yang dipercaya memiliki tujuan untuk mengusir musuh, binatang, dan roh halus. Mantra bambu gila bukan hanya memanggil roh agar datang dan masuk ke dalam bambu, melainkan juga dapat mengusir roh jahat yang ada di dalam bambu. Kegunaan kedua adalah sebagai mantra rajah. Dalam KBBI VI Daring, rajah adalah tulisan yang digunakan sebagai simbol atau lambang yang fungsinya sebagai azimat untuk menolak penyakit dan sebagainya. Terkait dengan mantra bambu gila, rajah diyakini dapat menaklukkan siluman atau roh jahat.
Setelah mengetahui kegunaan mantra tarian bambu gila dalam atraksinya, mantra ini pun memiliki beberapa peranan di masyarakat, yaitu sebagai media penyebaran agama, sebagai mata pencaharian, sebagai media untuk menyalurkan hobi, dan sebagai pengingat adanya Tuhan. Sebagai media penyebaran agama, kata Razul Allah dan berkat dalam mantra dapat ditafsirkan bahwa pawang mantra tarian bambu gila sedang memohon kekuatan kepada Sang Pencipta agar aktivitas menjalankan ritual tersebut lancar. Sebagai mata pencaharian, pawang mantra tarian bambu gila dapat menjadikan kemampuan ini sebagai ajang mencari nafkah. Hal ini disebabkan banyak orang yang meminta jasa pawang untuk mempertunjukkan tarian ini ke dalam upacara adat, baik acara hiburan maupun acara resmi. Sebagai media untuk menyalurkan hobi, ketika berbicara tentang kegemaran, mantra ini bisa dijadikan salah satu hobi yang mengisi waktu luang, di sela-sela aktivitas pawang itu sendiri. Sebagai pengingat adanya Tuhan, bait-bait yang terdapat dan dituturkan pada mantra bambu gila memiliki muatan nilai pendidikan atau ajaran pada masyarakat untuk selalu mengingat dan memohon kepada Tuhan.
Atas dasar kegunaan dan peranan mantra di masyarakat, mantra tarian bambu gila tetap terjaga hingga saat ini. Penggunaan mantra di masyarakat pada umumnya untuk pengobatan, kecantikan, memohon kebaikan dan pengingat pada Tuhan, dan pengasihan. Sayangnya, saat ini mantra dianggap hal aneh di luar agama dan dianggap pengetahuan umum. Padahal, konsepnya sama dengan doa. Harapannya, mantra dapat disosialisasikan kembali sebagai bagian erat kebiasaan di masyarakat.