Faradika Darman, S.S.
Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku
Artikel ini telah terbit di harian Siwalima.
Perbincangan Nunusaku menjadi hal yang seolah tidak ada ujungnya. Sebagian besar masyarakat Maluku, terutama yang mendiami Pulau Seram dan Pulau Ambon, meyakini bahwa Nunusaku merupakan asal mula peradaban orang Maluku. Handoko (2007) yang memublikasikan tulisan dalam jurnal ilmiah berjudul “Asal Usul Masyarakat Maluku, Budaya, dan Persebarannya: Kajian Arkeologi dan Mitologi” menyebut bahwa Nunusaku merupakan nama wilayah di Pulau Seram yang dianggap menjadi asal orang Maluku sebelum terpecah dan terbagi membentuk kelompok yang secara budaya dan etnis berbeda. Selaras dengan ini, Kastanya (2018) dalam artikel berjudul “Ungkapan Maluku Satu Darah dalam Perspektif Cerita Nunusaku” menguraikan bahwa Nunusaku ditenggarai menjadi awal peradaban, tetapi kemudian terpecah dan berkembang hingga membentuk kelompok-kelompok masyarakat seperti saat ini. Erniaty & Wijaya (2023) dalam artikel ilmiah “Korespondensi Bahasa-Bahasa di Kabupaten Seram Bagian Timur” mengatakan bahwa Nunusaku juga merujuk pada penyebutan subkelompok etnis di wilayah Pulau Seram. Dengan mencermati beberapa pandangan ini, secara singkat Nunusaku memang dekat dengan orang Maluku. Nunusaku menjadi ikon penting ketika mengulik persoalan mengenai asal mula peradaban Maluku. Nunusaku mengakar kuat dan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan serta perkembangan beberapa kelompok etnis di Seram Bagian Barat.
Kisah Nunusaku ini juga ditemukan dalam sebuah kapata (syair adat) yang berbunyi (1) Tutu ya heil eta, hei lete o, (2)Hei lete Nunusaku o, Nunusaku o, (3)Nunusaku same pela o, sama pela o, dan (4) Sama pela waila telu o, waila telu o. Sepenggal kapata yang dihimpun dari seorang tua adat suku Alune di Seram Bagian Barat ini secara harfiah berarti (1) ‘putusan dari atas’, (2) ‘dari atas Nunusaku’, (3) ‘Nunusaku sudah membagi, sudah membagi’, dan (4) ‘Sudah membagi tiga batang air, tiga batang air’. Pemaknaan kapata ini mengisahkan pembagian Nunusaku yang searah dengan beberapa opini atau perspektif yang telah diuraikan sebelumnya. Namun, Parera (1991) dalam buku yang berjudul Kajian Linguistik Historis Kompararif dan Tipologi Struktural menjelaskan bahwa dalam sebuah publikasi sekitar 30-an tahun yang lalu (tidak dijelaskan waktu pelaksanaan penelitian/pengambilan data bahasa), Nunusaku juga disebut sebagai sebuah bahasa yang dituturkan oleh lebih dari 100.000 penutur. Sayangnya, seiring dengan perkembangan peradaban di Maluku, khususnya Pulau Seram, penyebutan bahasa Nunusaku tidak ditemukan dalam publikasi-publikasi mutakhir.
Saat ini, Nunusaku erat kaitannya dengan dua suku besar di Pulau Seram, khususnya Seram Bagian Barat, yaitu suku Alune dan Wemale. Penyebutan Alune dan Wemale juga merujuk pada nama bahasa daerah yang digunakan oleh dua kelompok ini, yaitu bahasa Alune dan bahasa Wemale. Menariknya, dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Bahasa pada tahun 2019, wilayah Seram Bagian Barat tidak hanya memiliki 2 bahasa, tetapi 5 bahasa, yaitu bahasa Alune, Wemale, Luhu, Lisabata, dan Piru. Akan tetapi, penyebutan nama bahasa Luhu, Lisabata, dan Piru tidak menjadi penanda identitas kesukuan. Ketiga kelompok ini mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari Alune atau Wemale. Fakta ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kelompok-kelompok masyarakat di wilayah Seram Bagian Barat dengan berbagai perspektif Nunusaku yang diyakini sebagai awal/asal. Hal ini sejalan dengan temuan Collins (1982) dalam Linguistic Research in Maluku: A Report of Recent Field Work yang menyimpulkan bahwa semua bahasa asli Seram Bagian Barat tampaknya merupakan turunan dari satu bahasa leluhur. Bahasa leluhur yang dimaksud merujuk pada Nunusaku.
Pembuktian dan penelusuran mendalam terkait relasi kekerabatan kelompok-kelompok masyarakat dalam rumpun Nunusaku ini dibedah menggunakan pendekatan linguistik historis komparatif yang berbasis pada data bahasa. Gray (2011) dalam Language Evolution anda Human History menuliskan bahwa hal ini penting dilakukan karena bahasa diumpamakan seperti sebuah “gen” dalam “organisme” yang dapat dibedah menjadi sebuah “dokumen sejarah”. Pandangan tersebut jelas memberikan gambaran nyata adanya implikasi kajian kebahasaan, khususnya dalam penelusuran relasi kekerabatan kelompok masyarakat melalui bahasa. Singkatnya, setelah dilakukan kajian linguistik historis komparatif dengan menggunakan data bahasa kelompok Seram Bagian Barat (tidak termasuk bahasa Piru karena berstatus punah), terbukti bahwa empat kelompok masyarakat ini berasal dari satu bahasa purba yang sama.
Fakta menarik yang ditemukan dalam kajian tersebut menunjukkan bahwa kelompok Luhu dan Lisabata memiliki persentase kekerabatan yang paling tinggi dan keduanya cenderung memiliki banyak kesamaan dan kedekatan dengan kelompok Alune jika dibandingkan dengan Wemale. Jika diibaratkan dalam sebuah hierarki kekerabatan kelompok Seram Bagian Barat, hierarki tersebut menurunkan dua cabang utama, yaitu kelompok Alune dan Wemale. Kelompok Lisabata dan Luhu merupakan kelompok yang memiliki tingkat kedekatan dan konstruksi perubahan bahasa yang konsisten dengan kelompok Alune. Sementara itu, ketiga bahasa tersebut menunjukkan perubahan yang konsisten dan teratur dengan kelompok Wemale. Fakta-fakta ini juga tidak terlepas dari berbagai aspek yang saling berkaitan, seperti aspek sejarah, budaya, dan letak geografis. Sejarah masyarakat di Seram Bagian Barat yang sangat kompleks dan masyarakatnya tercatat melakukan migrasi/perpindahan wilayah turut berpengaruh pada perkembangan bahasa itu sendiri.
Dari sudut pandang linguistik historis komparatif, fakta kebahasaan berupa keteraturan yang terdapat pada bahasa-bahasa yang berkerabat dapat digunakan untuk menjalin kekerabatan dan mengetahui asal-usul bahasa melalui keteraturan pola bahasa. Keterkaitan genetis antarbahasa ini nantinya dapat digunakan sebagai bukti keaslian bersama yang diwarisi dari nenek moyang yang sama. Berkenaan dengan apa yang telah disebutkan, Crowley & Bowern (2010) dalam buku An Introduction to Historical Linguistics menuliskan bahwa ketika bahasa-bahasa terdekat dan dicurigai berkerabat dibandingkan, perbandingan itu akan memberikan hasil berupa gambaran yang pasti dengan nilai/persentase yang dapat diukur.
Untuk menghasilkan satu informasi ilmiah yang dapat dijadikan rujukan pembuktian kesatuasalan Nunusaku berdasarkan data bahasa yang ada, tentunya perlu dihubungkan berbagai bukti kekerabatan pada kelompok Seram Bagian Barat ini dengan beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok sekitarnya. Misalnya, penelitian Kekerabatan Bahasa Hitu dan Luhu yang dilakukan oleh Wahidah (2017) menemukan bahwa bahasa Luhu mempunyai hubungan kekerabatan dengan bahasa Hitu (salah satu bahasa yang dituturkan di Pulau Ambon). Selain itu, kecurigaan adanya kesamaan/kemiripan bahasa yang dituturkan oleh kelompok masyarakat di Negeri Liliboy, Pulau Ambon dengan kelompok Wemale juga perlu dibuktikan dengan membandingkan data kedua bahasa tersebut. Berbagai asumsi ataupun kecurigaan awal berdasarkan informasi yang bersumber dari masyarakat atau dengan mengamati perjalanan masyarakat di Pulau Seram dan pulau-pulau sekitarnya tentu memerlukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Penelusuran relasi kekerabatan bahasa-bahasa dalam bingkai kesatuan Nunusaku akan memberikan sumbangsih dan menjadi pijakan yang kuat untuk memaknai Nunusaku dari perspektif linguistik sebagai sebuah bahasa purba yang menurunkan bahasa-bahasa baru yang saat ini berkembang dan dituturkan oleh masyarakat.