Boleh Berpendapat, Asalkan Santun

Indrayadi, S.S.

Analis Kata dan Istilah di Kantor Bahasa Provinsi Maluku

Artikel ini telah terbit di harian Kabar Timur

Beberapa waktu lalu, pemerintah kota Ambon, melakukan renovasi trotoar di sejumlah ruas jalan protokol, seperti pada Jalan D.I Panjaitan, Jalan A.Y Patty, Kawasan Mardika, Jalan Dr. Soetomo (pohon pule), Dr. Tamaela, dan Jalan A.M Sangadji. Sayang, renovasi trotoar yang dilakukan pemerintah kota ini, menuai banyak kritik dari masyarakat. Kritikan yang dilayangkan kepada pemerintah Kota Ambon tertuang dalam berbagai platform media sosial, seperti Tiktok, Facebook, dan Twitter.

Selain itu, selama masa pandemi covid-19, pemerintah juga menerima beberapa kritikan dari warganet terkait vaksinasi, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Rakyat yang berujung pada penutupan tempat-tempat umum, penutupan tempat ibadah, penghilangan cuti sebelum hari keagamaan bagi PNS, larangan mudik, dan masih banyak lagi.

Biasanya, kritikan yang dilayangkan para netizen dipicu atau didasari oleh beberapa alasan. Pertama, dampak yang mereka alami secara langsung. Kedua, hasil pengamatan dan survei lapangan yang dilakukan sendiri. Ketiga, hasil pengamatan dan survei melalui media social. Keempat, akumulasi rasa simpati dan empati. Semua akumulasi itu dituangkan dalam kata-kata atau kalimat-kalimat yang bersifat imperatif, evaluatif, pesimistis, bahkan ada yang bernuansa menyindir dan mengancam, dan lain-lain. Hal ini yang sebagian besar terjadi di Media social. Bukan hanya tentang trotoar di kota Ambon, tetapi juga tentang segala kebijakan pemerintah. Pertanyaan besar ialah apakah masyarakat tidak boleh memberi pendapat? Apakah masyarakat tidak boleh memberikan kritik?

Masyarakat ialah komunitas pengawas atau pengamat sejati yang layak untuk didengar atau dipertimbangkan. Sayangnya, sering diabaikan atau didiamkan atau bahkan diperkarakan. Masalahnya bukan pada ide yang tertuang sebagai hasil pengamatan atau pengawasan, tetapi pada pilihan kata yang digunakan. Pemilihan kata yang digunakan lebih sering menyerang kehormatan seseorang, bukan lembaga. Meskipun, lembaga melekat pada oknum tersebut. Pemilihan kata dalam kritikan juga sering bablassehingga memuat unsur penghinaan.

UU ITE pasal 27 ayat (3) berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” dan Pasal 45 yang berbunyi: (1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27  ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipina dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyakl Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sangatlah jelas. UU ITE ini pun tidak lepas dari KUHP Pasal 310 bahkan menjelaskan bahwa “pencemaran nama baik ialah menuduhkan dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu” sangat jelas membuat kita, masyarakat, menyaring kalimat kritikan yang kita tuang di media sosial. Oleh karena itu ada istilah  diksi atau pilihan kata. Eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Konotasi ialah nilai rasa sebuah kata. Masih banyak lagi. Diksi bukan hanya dipakai dalam karya-karya sastra, seperti puisi, drama, pantun, hikayat, cerita pendek, dongeng, legenda, yang merupakan karya tulis, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Pemilihan diksi yang tepat bukan hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga dalam bentuk lisan. Diksi yang tepat akan memperlihatkan kesantunan berbahasa kita.

Selain itu, kritikan dan pendapat haruslah berdasarkan fakta atau bukti. Kritikan tanpa bukti akan berujung pada kebenaran palsu atau hoaks. UU ITE pun mengatur tentang hoaks, berita palsu, atau berita yang belum jelas kebenarannya. Saat pandemi ini saja, banyak berita hoaks yang diteruskan. Tepatnya ada ribuan hoaks yang diteruskan dalam semua platform media sosial, mulai dari whatsapp, facebook, instagram, twitter dan banyak lagi. Berita hoaks yang diteruskan dapat memicu kritikan yang bernuansa negatif di media sosial. Hal inilah juga yang sering menjerat masyarakat awam.

Oleh karena itu, hal mendasar yang harus diperhatikan dalam berbahasa di media sosial ialah kesantunan berbahasa. Menurut Geoffrey Leech (1983) kesantunan berbahasa sebagai strategi untuk menghindari konflik yang dapat diukur berdasarkan derajat upaya yang dilakukan untuk menghindari situasi permasalahan. Ada beberapa hal yang harus menjadi dasar kesopanan berbahasa yang diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Leech (1983) mengemukakan agar tuturan dapat santun hendaknya memperhatikan pemakaian maksim kesantunan dalam tindak tutur sebagai berikut, (a) maksim kebijaksanaan “tact maxim”, di mana penutur hendaklah memberi keuntunganbagi mitra tutur, (b)maksim kedermawanan “generosity maxim”, bahwa penutur melimpahkan sepenuhnya kerugian kepada dirinya sendiri, (c) maksim pujian “praise maxim”, penutur hendaklah memberikan pujian semaksimal mungkin kepada mitra tutur, (d) maksim kerendahan hati, bahwa penutur hendaklah minimalkan pujian yang ditujukan untuk dirinya sendiri, (e) maksim kesetujuan, penutur hendaklah maksimalkan kesetujuannya dengan mitra tutur, (f) maksim simpati “sympathy maxim”, penutur hendaklah mengungkapan rasa simpati kepada mitra tutur dengan semaksimal mungkin, (g) maksim pertimbangan “consideration maxim”, penutur hendaklah berusaha semaksimal mungkin untuk minimalkan adanya rasa tidak senang padamitra tutur dan mengutamakan adanya rasa senang pada mitra tutur dengan maksimal.

Kritikan kepada pemerintah atau kebijakan pemerintah boleh saja. Mengeluarkan pendapat dibolehkan karena negara kita ialah negara yang menganut paham demokratis. Paham yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengeluarkan pendapat atau memberikan pendapat. Baik secara langsung dalam bentuk demo yang sopan dan santun maupun dalam bentuk tuturan di media sosial. Kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa batas dan batasannya ialah kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan itu akan didukung oleh bukti yang akurat dan relevan. Boleh berpendapat, asalkan santun.

2 komentar untuk “Boleh Berpendapat, Asalkan Santun”

  1. What і do not realize іs in truth how you’re no ⅼonger really mᥙch more well-preferred than you might be
    now. Yoս аre very intelligent. You recognize therefore significantly
    on the ѕubject of this matter, produced me in my view believe it from so many varied angles.
    Its like womеn and men are not fascinated unless
    it’s one thing to do with Lɑdy gaga! Your personal
    stuffs great. Always handle it up!

Tinggalkan Balasan ke paket whatsapp Batalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

five × 5 =

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top